Sabtu sore aku sudah bersiap-siap pergi dengan Aksara. Tubuhku sudah terbalut aman dalam zirah berbahan katun jelek, kusut, dan kumal yang jelas sekali telah dicuci jutaan kali sampai warnanya memudar. Gaun ungu kebesaran berlengan panjang selutut itu bermotif polkadot hitam. Sebagai alas kaki aku memakai sandal jepit terbaik dan termodis yang kupunya. Meski penampilanku sudah sangat berubah, untuk berjaga-jaga aku tetap memakai kerudung warna hijau neon yang norak banget. Sangat tidak nyambung dengan gaun ungu yang kupakai.
Aku tersenyum di depan cermin melihat betapa jeleknya aku. Betapa kuno dan aneh gayaku. Betapa memalukannya hidupku sekarang.
Aku mencari dompet butut kecil bekas tempat emas dan memeriksa isinya. Dua puluh ribu selembar dan dua lembar uang dua ribu superkumal. Sebagai Inem pembantu bersahaja, dua puluh empat ribu kurasa sudah cukup sebagai pegangan. Aku kan hanya menemani saja. Jadi rasanya tak perlu menyelipkan selembar warna merah ke dalam. Merasa puas dengan sedikitnya uang yang kupunya, aku memasukkan ponsel butut ke dalam dompet.
Aku sekarang memang serbabutut.
Kalian mungkin bingung. Mengapa aku begitu mendalami peran sampai ke masalah dompet butut segala. Tak ada alasan khusus. Hanya Heidi terlalu rinci dan profesional dalam hidup susah, lalu aku terlalu berlapang dada menerima idenya. Tak perlu juga kalian pikirkan dari mana dia mendapat semua barang ini. Dia hanya bilang dari salah satu sumber yang bisa dipercaya.
Setelah merasa semua siap, termasuk tahi lalat di ujung hidung yang telah kurekatkan dengan amat kuat hingga mengurangi rentan tergeser atau terlepas dan menempel di baju orang, aku keluar dari kamar Bi Lilis. Aku tak punya kamar di sini. Inem yang konvensional dan mempunyai sopan santun tidak bisa tinggal dengan bujangan ganteng seperti Aksara Widan. Jadi Inem selalu pulang ke apartemen rahasia milik Cenora. Berbeda dengan Bi Lilis yang katanya sudah merawat Aksara sejak berumur satu tahun.
Begitu aku menjumpai Aksara di ruang tamu tentu tak ada tatapan kagum yang biasa muncul di drama-drama. Ia hanya melirik pembantunya yang jelek sekilas, lalu mengajak pergi. "Kalo udah siap, ayo langsung berangkat."
Aku pun mengikutinya tanpa bicara apa-apa. Hari Sabtu ini aku tetap bekerja seperti biasa. Namun seharusnya aku sudah boleh pulang siang hari. Sabtu dan Minggu aku hanya bertugas membersihkan rumahnya, tanpa ada masak-masak rempong. Aku tak tahu mengapa ia membuat pengaturan begitu. Mungkin karena tak suka ada orang lain saat ia di rumah. Namun di sisi lain juga tak mau tempat ini kotor.
Aksara membawaku memasuki beberapa butik di sebuah pusat perbelanjaan. Mulai dari Gucci, TOD'S, Bally, Aigner, Chanel, dan lainnya. Tempat yang sangat pas untuk membuatku ketar-ketir takut bertemu orang yang kukenal.
"Sebenarnya dia bukan orang yang suka barang mahal, tapi dua hari lalu pas saya tanya dia mau apa buat hadiah ulang tahun, dia bilang mau barang mahal tahun ini."
Aku hampir saja tertawa sinis mendengarnya. Siapa pun perempuan itu, dia benar-benar luar biasa. Setelah memainkan peran sebagai gadis polos penyuka kesederhanaan, sekarang perlahan-lahan dia mulai menunjukkan taring. Mungkin Aksara sudah terlalu terpikat padanya sampai tak sadar dia mulai dimanfaatkan pemburu harta.
"Menurut kamu apa yang harus saya beli?"
"Kalau mau buat dia terkesan kenapa Mas gak kasih apartemen aja?" saranku, yang dimaksudkan memancing penjelasan betapa tajamnya taring pemburu harta ini.
"Kayaknya itu ide bagus, tapi dia pasti gak mau nerima itu dari saya."
Sekarang sih katanya tidak mau. Kalau disodorkan kuncinya langsung, pasti gak bisa nolak.
"Mobil aja Mas."
"Udah ada."
Aku tercekat dan hampir tersedak ludah sendiri. Aku tak tahu ludah bisa seberbahaya ini di kondisi tertentu. Jika aku boleh menganalisa keadaan dengan otakku yang kurang pintar, bolehkah aku berasumsi bahwa gadis ini menerima mobil dari Aksara. Dia adalah orang yang terang-terangan minta barang mewah, yang jelas-jelas tak dilakukan kebanyakan wanita kaya penuh gengsi. Jadi ada kemungkinan si pemburu harta tak punya cukup uang untuk membeli mobil sendiri.
Apa itu terdengar masuk akal menurut kalian? Atau terdengar sangat nyinyir dan mengada-ada?"Ya udah, Mas, beli tas aja," pasrahku akhirnya. Sudah tak berminat mencari tahu betapa tajam Aksara sudah digigit lalat uang. "Tas bakal sering dipakai. Mungkin dia bakal pakai itu setiap ketemu Mas. Tas juga ukurannya kecil dan gak akan semahal apartemen yang layak untuk orang spesial Mas."
"Kamu bijak juga ya, Nem."
Hadeh. Bisa-bisanya dia berkata bijak padahal sudah jelas itu jawaban orang yang malas berpikir. Sudah jelas kan tas, baju, kalung, jam tangan dan aksesoris lain adalah hadiah paling mainstream yang pernah ada. Tak ada uniknya. Tak ada spesialnya. Sebab aku sendiri akan lebih suka menerima hadiah yang disiapkan dengan cinta. Rasanya lebih menyenangkan menerima hadiah seperti baju yang dirajut sendiri atau sketsa wajah yang dibuat sendiri oleh pemberi. Salah satu orang yang selalu memberi hadiah yang dibuat sendiri setiap aku ulang tahun adalah Malik. Dan sialnya sekarang aku kangen padanya.
"Biasa aja, Mas," jawabku sekenanya. Aku akan memilihkan orang ini tas biasa yang sudah banyak dibeli orang-orang saja. Karena beberapa langkah dari tempat kami berdiri adalah butik Fendi, aku pun ke sana. Tak perlulah aku capai-capai memikirkan hadiah untuk si pemburu harta itu.
"Kamu suka yang mana, Nem?"
Aku menggosok-gosok dagu seolah tengah berpikir keras. Mencari-cari model yang pasaran dan mungkin agak ketinggalan zaman.
"Yang ini Mas," seruku pada sebuah tas berwarna hitam yang mirip dengan yang sering dipakai Granny Widi. Granny Widi sendiri adalah janda tanpa anak berumur tujuh puluh tahun yang sinis dan cerewetnya minta ampun. Hobi nyinyir dan mengomentari hidup orang lain. Semua tahu kalau dia agak kesulitan dalam masalah finansial setelah suaminya meninggal. Namun wanita itu membela diri dengan mengatakan barang-barang baru adalah pemborosan yang tidak perlu. Tas yang sedang kupegang dengan penuh percaya diri di depan Aksara ini adalah tas favorit Granny Widi. "Ini bagus banget. Saya pernah liat tas ini dipake sama selebgram terkenal," kataku melebih-lebihkan.
Aksara melihat benda di tanganku dengan tatapan serius. Dia melirikku sekilas lalu kembali pada tas tersebut. Aku sudah takut dia tahu ini sering dipakai Granny Widi, tapi sejurus kemudian Aksara tersenyum lebar sekali. "Ini bagus. Saya suka desainnya. Simpel tapi elegan."
Aku merasa Aksara ini lebih mengada-ada dibanding aku. Entah dia hanya mencoba menjaga perasaanku atau seleranya memang jelek banget. Aku lebih suka pilihan yang kedua.
"Kita pilih ini," putusnya cepat dan begitu mudah. "Kurasa dia bakal suka sama pilihan kamu, Inem."
Ya, syukurlah kalau dia benar-benar berpikir begitu.
Saat kami berbalik untuk ke kasir aku menyadari sesuatu. Aku jelas mengingat tempat ini dan tempat lain yang sebelumnya kami datangi sebaik aku mengingat seluk beluk kamarku sendiri. Tempat yang dulu sering kudatangi bersama beberapa teman.
Laura dan Andin tengah sibuk berbincang sambil memilah-milih tak jauh dari tempatku berada. Belum sempat aku mengalihkan pandang, Laura sudah menatap ke arahku. Matanya membelalak, lalu menunjukku. "Lo..."
***
Sincerely,
Dark Peppermint
KAMU SEDANG MEMBACA
LADY MAID
ChickLitGara-gara perkara novel panas, Cenora menjadi pembantu rumah tangga. Lah, bagaimana bisa? Cenora yang tersohor itu kan anak konglomerat yang menjadi kiblat sosialita muda. Alasan pertama, Cenora belum mau menikah. Kedua, ada laki-laki gila yang ngeb...