34. Aku Percaya Kamu

6.2K 697 21
                                    

Adegan pingsan yang kusaksikan satu jam yang lalu ternyata sungguhan. Aku sempat mengira si Diasy itu sedang terpojok dan berpura-pura pingsan untuk menghindari masalah. Namun ternyata tidak. Pingsannya benar-benar sungguhan.

Perempuan itu baru saja bangun beberapa menit lalu. Wajahnya pucat pasi dan tampak sangat lelah. Jarum infus terpasang di lengan kirinya. Matanya terpejam, bibirnya bergetar.

"Ini minumnya," ucap sang kakak sembari mengarahkan segelas air ke bibir perempuan itu. Setelah minum secukupnya ia berbaring kembali tanpa mau melihatku.

Akan sangat tidak manusiawi jika saat ini juga aku menanyakan pertanyaan yang sejak tadi kupendam. Jadi aku menunggu, duduk di salah satu kursi tak jauh dari tempat mereka berada.

"Apa menurut Mbak dia jujur?" cetus Minna tiba-tiba. Aku hampir saja lupa kalau sejak tadi dia berada di sampingku.

"Menurut kamu?" tanyaku balik, sambil kepalaku melirik kanan-kiri mencari Kin.

"Mbak gak sadar dari tadi dia gak di sini?"

"Jadi kamu sadar dari tadi Kin gak di sini?" Aku tersenyum lucu, sebelah alisku naik menggoda Minna.

Sementara gadis itu mendecih. "Emang ini saat yang tepat buat bercanda ya?"

"Biar gak kaku banget suasananya," ucapku membela diri. "Tapi menurut kamu sendiri gimana? Apa perempuan itu bohong?" Aku mengembalikan percakapan kami ke topik semula.

Minna yang biasanya dapat memberikan jawaban-jawaban cerdas bin menyebalkan terdiam. Lama aku menunggu namun dia tak berkata apa pun.

"Aku gak tau," jawabnya akhirnya. "Aku ngerasa gak bisa berpikir secara objektif sekarang."

"Karena sekarang hati kamu lebih dominan dan berkata dia gak salah, atau... berharap dia gak salah."

Minna menatapku dengan ekspresi membunuh.

"Kenapa?"

Dia mengembuskan napas. "Iya. Aku berharap dia gak salah. Enggak. Awalnya aku yakin banget dia gak salah. Tapi entah kenapa sekarang ketakutanku semakin besar. Aku semakin takut kalau dia ternyata salah. Kalau keyakinanku ini cuma harapan."

Kali ini gantian aku yang terdiam, sama sekali tak menyangka akan mendapat jawaban sejujur ini dari Minna. Tapi, aku mengerti perasaannya. Saat kau menginginkan seseorang atau saat seseorang itu spesial, harapanmu padanya juga akan sangat besar. Semakin besar dan membuatmu semakin takut kalau dirimu salah. Karena harapanmu terhadapnya menumbuhkan keyakinan yang belum tentu ada, belum tentu nyata.

"Aku pengin dukung dia, tapi kalau ternyata aku dukung orang yang salah, aku bakal keliatan kayak orang bodoh."

Aku tersenyum mendengar kata-kata Minna.

"Ya, Mbak sendiri juga bingung. Tapi karena posisi Mbak sekarang ini, Mbak cuma bisa jadi pihak yang netral. Mbak gak bisa terlalu memihak. Tapi, kalau kamu mau jadi kekuatan buat Kin, itu sama sekali gak masalah."

"Tapi--"

"Takut kelihatan bodoh?" Aku mengembuskan napas. "Kalau yang di posisi Kin sekarang itu Malik, kayaknya Mbak bakal lebih milih jadi kekuatan buat dia walau belum tentu dia benar. Karena kalau nantinya ternyata dia benar, Mbak bakal nyesal gak dukung dia di masa-masa sekarang. Tapi kalau ternyata dia yang bohong, itu mungkin bisa jadi pelajaran buat Mbak. Dan Mbak jadi tambah yakin kalau dia laki-laki yang sama sekali gak pantas buat Mbak."

Minna mendecih. "Kalau Bang Malik sih gak mungkin kayak gitu," cibirnya.

Ais, anak ini. Aku sudah merangkai kata agar terdengar sebagus mungkin, responsnya malah seperti itu.

"Mbak!" Aku menoleh ke kanan saat mendengar suara Kin dan langsung membeliak.

"Ternyata salah satu hobi kamu itu ikut campur urusan orang lain ya."

Aku langsung cemberut mendengar kata-kata jahat itu. Ya, tentu saja. Siapa lagi orang yang bisa bersikap sinis pada seorang Cenora selain Aksara. Orang yang kini berdiri dengan tampang kesal di sebelah Kin.

"Ikut campur? Aku lebih suka jadi orang yang tukang ikut campur dibanding orang yang gak tau apa-apa tentang saudaranya sendiri."

Aksara tampak ingin menjawab. Namun entah karena apa dia menahan diri.

"Maaf. Padahal kamu sudah bantu adik saya, tapi kata-kata saya ke kamu malah seperti ini."

Sialan. Dia membuatku jadi merasa bersalah sudah terbawa suasana. "Bukan masalah," jawabku seadanya.

"Tapi kenapa kamu bisa tahu masalah ini?" tanyanya curiga. Dan double sialan, aku tak menyiapkan jawaban apa pun kalau Aksara menanyakan hal ini.

"Aku yang kasih tahu ke Mbak Nora," seru Minna tiba-tiba. "Kin teman sekelas aku dan Mbak Nora teman baik kakak laki-lakiku."

"Teman sekelas Kin dan adik temannya Cenora" sahut Aksara, lalu dia memperkenalkan diri pada Minna. Dan yang membuat si Aksara ini semakin menyebalkan dia bisa bersikap ramah dan tersenyum pada Minna. Tapi jahat sekali padaku.

"Kalau boleh tahu di mana gadis itu?" tanya Aksara.

Kin langsung menunjuk sebuah tempat tidur yang tertutup tirai.

"Dia di sana sama kakaknya," jawabnya tanpa mau melihat mata Aksara.

"Mas bakal liat mereka dulu." Sejurus kemudian Aksara sudah membuka tirai dan berbicara pada kakak perempuan Diasy. Perempuan itu tampak terkejut awalnya. Kukira dia akan marah-marah sambil menunjuk-nunjuk Aksara tapi nyatanya sekarang perempuan itu sedang menangis dengan anggunnya. Seperti seorang kakak lemah lembut, baik hati, penyayang, dan saleha yang sedang gundah dengan keadaan sang adik tercinta.

"Dia palsu banget," cetusku tanpa sadar.

"Sepalsu adiknya," sahut Minna.

Aku melirik Minna dan ingin sekali mengajaknya tos. Tapi Kin tiba-tiba menyeletuk, "Jadi kalian gak percaya sama mereka berdua?"

"Mbak masih belum percaya sama kamu ya," tembakku. "Mbak emang gak suka sama mereka, tapi bukan berarti Mbak langsung dukung kamu."

Kin langsung cemberut.

"Aku dukung kamu kok."

Kata-kata itu membuat tubuh Kin mendadak kaku. Pemuda itu bergerak dengan grogi. "Lo ngomong apa sih?"

Minna yang entah tidak bisa membaca sikap grogi orang lain malah menatap mata Kin pasti. "Aku dukung kamu. Aku percaya sama kamu. Jadi buktiin kalau kamu gak salah."

Kin langsung membuang muka, berdiri menyamping membelakangi Minna. "Dih, lo ngomong apa coba," ucapnya dengan pipi bersemu merah menahan senyum.

"Aku serius," balas Minna yang tidak tahu anak orang sudah semerah tomat hampir busuk, dengan wajah datar superyakin.

Kin berdeham sejenak. Jelas sekali mencoba terlihat biasa saja. "Kok lo tiba-tiba kayak gini? Lo ada maunya?"

Minna memutar bola mata. "Udah didukung juga."

"Eh, iya, gue gak maksud gitu kok," jawab Kin terburu-buru. "Lo... gak marah kan?"

Astaga. Astaga. Astaga. Entah kenapa aku merasa akan terjadi percakapan menggelikan kalau mereka tidak dihentikan.

"Kamu marah?"

"Stop!" ucapku.

Stop! Kata "lo" sudah berganti menjadi "kamu", aku tak bisa menyaksikan ini lagi.

Dan... Kenapa hubungan kalian berkembang sepesat ini hanya dalam waktu beberapa jam?

"Kin!" Suara Aksara membuat kami bertiga menoleh seketika.

"Bisa ke sini sebentar!"

Ya, benar. Masih ada masalah yang harus segera kami selesaikan.

***

Ya Tuhan, adakah yang masih ingat cerita ini?

Sincerely,
Dark Peppermint

LADY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang