Ting-tong.
Ting-tong.
Ting-tong.
Si*lan. Dia mau menghancurkan bel rumah orang!
"Saya aja yang buka pi---"
"JANGAN!" jeritku.
Itu mungkin makanan yang kupesan.
"Gak apa-apa, kamu pasti sibuk di dapur kan." Aksara berbalik, bersiap menuju pintu.
"UFO!" Tangan kiriku menarik Aksara kembali sementara tangan kananku menunjuk ke sembarang arah, lalu bergeser sedikit menuju jendela yang pernah dicongkel Heidi dengan linggis.
"Ya ampun, ada UFO, Mas," aku kembali memekik.
"Di mana?" Aksara tampak sanksi. Dia menatapku dengan ganjil. Namun tetap menoleh mengikuti arah tanganku. Dia pasti berpikir aku sudah tidak waras.
Ting-tong!
"Ah, ah, UFO-nya terbang! UFO-nya terbang!" UFO kan memang terbang.
Kutarik paksa Aksara menuju pintu dapur. "Coba liat dari dekat deh, Mas." Kubuka pintu lalu mendorongnya keluar. Dia berbalik, melihatku bingung, lalu kututup pintu dengan keras di depan wajahnya. Tak lupa kukunci pintu baru berlari ke depan. Begitu kubuka pintu depan, kudapati sorot sebal sang tukang ojek online yang mengantar makanan.
"Lama banget, Mbak."
Aku mempelototinya yang hendak protes. Untungnya dia langsung sadar situasi. Dia kira aku ada di posisi untuk mendengar ocehannya.
"Mas yang terlambat," tuduhku bersikap bebal. Aku yang bayar, jadi dia yang salah.
"Lho---" Kusambar makanan yang dibawanya dan menutup pintu dengan keras.
Mungkin aku akan menyesal telah menzolimi tukang ojek yang tak berdosa itu. Jika ingat aku akan menebus dosa dengan memberi bintang lima nanti.
Aku lekas berlari kembali ke dapur. Menaruh rendang di piring dan memasukkannya ke lemari.
Aman.
Saat pintu dapur kubuka lagi, Aksara tengah memandangi langit dengan berkacak pinggang. Kurasa dia tak percaya ada UFO, tapi tetap penasaran.
"Haduh, Mas, maaf ya." Aksara berbalik dan masih melihatku aneh. Aku meringis. Tubuhku yang tak bisa diajak kompromi bergerak dengan kikuk. "Saya gak bermaksud nutup pintu keras-keras gitu, Mas. Pasti karena anginnya kencang. Akhir-akhir ini kan memang musim berangin. Jemuran tetangga sampai nyangkut di pohon mangga kita," jelasku, melantur.
Aksara mendekat lalu masuk ke dalam tanpa melihatku. Aku mendadak dilanda gelisah. Pasti orang ini marah sekali.
"Saya lihat ada tangga di luar."
"Oh, iya, Mas," ucapku terlalu keras, tak seperti Inem yang lembut dan sederhana. Aku berdeham kemudian melanjutkan dengan lebih kalem, "Lampu kamar Bi Lilis tadi mati. Lupa buat masukin gudang. Nanti saya urus tangganya. Kayaknya bisa jatuh karena ketiup angin."
Sebelum netra Aksara menoleh ke meja dapur, kupukul pundak cowok itu sekuat tenaga, lalu tertawa seolah ada kejadian yang sangat konyol baru saja terjadi. "Tadi saya lupa matiin kompor." Kubimbing dia yang menatapku horor meninggalkan dapur. "Saya kaget makanya refleks nutup pintu. Respons saya memang agak berlebihan. Dulu di kampung ada teman yang suka ngagetin. Refleks saya dorong ke sawah-sawah. Saya orangnya memang gak bisa dikagetin, Mas. Suka kaget."
Gak bisa dikagetin, suka kaget. Kalau dikagetin memang jadi kaget kan. Namanya saja dikagetin, pasti kaget. Kalau gak kaget, namanya bukan dikagetin.
Aksara masih juga celingukan ingin melihat kompor yang kataku lupa dimatikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LADY MAID
Literatura FemininaGara-gara perkara novel panas, Cenora menjadi pembantu rumah tangga. Lah, bagaimana bisa? Cenora yang tersohor itu kan anak konglomerat yang menjadi kiblat sosialita muda. Alasan pertama, Cenora belum mau menikah. Kedua, ada laki-laki gila yang ngeb...