52. Pertemuan yang Direncanakan

6.4K 656 47
                                    

"Oke," mulai Lestari. "Kamu pasti sadar kan aku ada rasa sama Aksa?"

Seketika udara di sini terasa berat. Mataku memicing saat bertanya, "Apa yang membuat Mbak tiba-tiba ngomong kayak gini sama orang yang bakal nikah sama Mas Aksara?"

Bahunya mengedik. Dia dengan santai menerima buku menu dari pelayan. "Makasih, Mas."

Aku melakukan hal yang sama dengannya. "Makasih, Mas," ucapku juga.

Aku memang selalu mengatakan terima kasih setiap menerima buku menu atau saat pesanan diantar. Aku tidak tiba-tiba melakukan ini karena Lestari. Jadi jangan salah paham kalau aku sedang menirunya.

"Cuma mau ngasi tau kamu aja. Mana tau kamu kurang bisa membaca situasi," ucapnya setelah pelayan pergi.

Aku mengembuskan napas tanpa kentara. Kubuka menu tersebut dan membalik-baliknya ringan. "Sikap Mbak yang gak sopan meluk calon suami orang lain itu kan sudah jadi bukti yang jelas." Aku tersenyum kecil. "Jadi aku sangat paham situasi Mbak."

Harus kuakui aku memang lebih bisa dalam menyembunyikan kekalutan dibanding Lestari. Dia mudah dipancing.

Sekarang ketenangannya sudah hilang. Dia menatapku tajam. "Memangnya apa yang sangat kamu pahami tentang situasiku?"

"Hmm." Kuletakkan telunjukku di ujung dagu, seolah sedang berpikir. "Mbak jatuh cinta sama Mas Aksara, tapi gak pernah dianggap lebih dari teman. Mas Aksara bahkan gak pernah ngeliat Mbak sebagai wanita. Tapi tiba-tiba Mbak dengar kabar dia mau menikah. Makanya Mbak kepoin dia dan calon istrinya dari Radha, terus buru-buru datang kemari. Habis itu entah dengan 'maksud dan tujuan apa' Mbak meluk calon suamiku di depan semua orang. Padahal Mbak tau jelas acara itu diadakan di rumah Mbak Renja. Yang artinya pasti banyak keluarga Mas Aksara di sana dan aku juga ada."

"Kamu tahu banyak ternyata." Dia berusaha santai kembali. Namun kemarahannya masih tercetak jelas di wajah. Hah, ilmunya masih cetek sekali dalam mengendalikan emosi dan perilaku. "Memang apa salahnya meluk teman setelah sekian lama."

"Ya, gak ada yang salah." Aku masih sesantai sebelumnya. "Tapi hanya Mbak yang tahu maksud dan tujuan sebenarnya Mbak melakukan hal tersebut. Apalagi dengan fakta yang barusan Mbak sendiri yang bilang, bahwa Mbak ada rasa sama Mas Aksara." Wajahku melembut. "Tapi Mbak gak bisa terus bersikap impulsif begitu ke calon suami orang. Kalaupun gak bisa jadi istrinya, Mbak kan harus tetap menjaga martabat sebagai temannya. Mbak gak bisa terus membiarkan keluarga Mas Aksara memandang buruk ke Mbak kan? Apalagi kalau alasan Mbak peluk dia memang benar alasannya hanya karena pertemanan."

Kali ini Lestari benar-benar terguncang. "Kamu lagi terdesak?" ejeknya. "Sampai bawa-bawa keluarga Aksa untuk menekan saya?"

"Kukira Mbak perempuan yang cerdas." Aku berhenti sejenak. Bertingkah seolah melupakan sesuatu. "Perempuan cerdas gak akan ngejar-ngejar calon suami orang sih," aku berujar lirih, tapi kupastikan dia masih bisa mendengarnya. "Tapi... Mbak sendiri pasti sadar apa yang Mbak lakukan sebelumnya salah. Dan sudah bisa memprediksi bagaimana tanggapan keluarga Mas Aksara. Mbak-lah yang gak sadar situasi."

"Ternyata kamu gak sebodoh kelihatannya."

Mataku mengerjap beberapa kali. "Apa?" Yang dia katakan itu bukan pujian. Itu cibiran dilihat dari bagaimana cara dia mengatakannya.

"Cenora Dhananjaya. Si cantik berotak kosong. Kamu pikir aku gak tau tentang kamu. Anak konglomerat yang gak bisa apa-apa dan gak akan punya apa-apa tanpa wajah dan keluarganya. Tapi mungkin aku sedikit salah menilai. Otak kamu gak sekosong yang diberitakan."

"Orang yang menilai seseorang bodoh hanya dari akademiknya, kurasa orang seperti itulah yang benar-benar berotak kosong." Aku mengingat kembali masa-masa sekolahku. Menjadi peringkat lima terbawah di kelas bukan hal baru bagiku. "Tapi bukan berarti di segala aspek aku bakal tertinggal dari kalian. Bukan berarti manner-ku bakal kurang, bukan berarti aku gak akan bisa jadi orang yang tulus, bukan berarti aku gak akan ngerti perasaan seseorang, bukan berarti aku gak akan berguna." Kulihat dalam ke matanya. "Dan bukan berarti Mbak bisa bersikap semena-mena sama saya karena merasa lebih unggul dari saya."

Lestari terdiam. Entah apa yang dipikirkannya sekarang. Aku pun tak bisa menebaknya dari wajahnya.

"Kalau gak ada lagi yang mau Mbak bicarakan, aku permisi dulu. Karena kurasa niat awal Mbak ngajak aku ketemu bukan untuk makan siang dan ngobrol-ngobrol santai. Apalagi untuk saling mengakrabkan diri."

Selanjutnya aku pergi begitu saja tanpa menunggu respons darinya. Terserah mau bagaimana, aku sudah lelah dengan perempuan itu. Sekali lagi aku bertemu dengannya benar-benar akan kulempar dengan garam.

Tapi satu pelajaran yang kudapat dari Lestari. Kemampuan akademik tak menjadi jaminan kebijaksanaan. Lestari jelas lebih kekanakan dibandingkan denganku. Yang jika dilihat di atas kertas sama sekali bukan tandingan dirinya yang cantik, lulusan luar negeri, dan bekerja di perusahaan Jepang terkenal.

"Gimana ketemuannya?" Aksara menghubungiku sore harinya.

"Gak gimana-gimana. Aku udah duga dia bakal nyebelin. Jadi gak terlalu kaget." Aku menoleh ke belakang. "Tin, nyalain selangnya ya," ucapku pada salah seorang asisten rumah tangga kami yang menemaniku ke kebun.

"Iya, Non," sahut Tini sigap dan langsung menyalakan keran.

"Sayang banget," jawab Aksara. Selang di tanganku mulai menyemprotkan air. Kuarahkan benda itu ke tanaman-tanaman milik ibuku.

"Apanya yang sayang?"

"Kalian gak bisa akur."

Aku cemberut. "Kenapa Mas mau kami akur? Biar aku bisa dimadu?"

Kudengar suara tawa Aksara. Kalau dia di sini sudah pasti aku akan menyemprotnya dengan selang air. "Kalau kamu ikhlas ya Mas gak apa-apa."

Sontoloyo.

"Gak ada. Kalau Mas sayang banget sama si Lestari itu, Mas aja sana yang sama dia."

"Bercanda, Sayang, jangan marah dong."

Cih. Sialan benar hatiku yang lemah ini. Tidak, tidak, hatiku tidak gampang meleyot hanya karena dipanggil sayang.

"Jadi gimana kalau makan malam bareng nanti?"

"Hmm... aku sibuk," tolakku.

"Masih ngambek?"

"Enggak tuh."

"Jelas ngambek ini. Yakin gak mau? Nanti rindu loh."

Cih. Cih. Cih.

"Siapa juga yang rindu."

"Ya, kamu."

"Enggak."

"Ya udah, Mas yang rindu. Jadi mau ketemu gak?"

Cih. Cih. Cih. Cih.

"Non! Non! Saya basah, Non!" Aku langsung mematikan selang air itu begitu melihat Tini yang mulai basah kuyup. "Saya bukan kembang* Non, gak usah disiram."

*bunga

"Sori, Tin. Kan kamu dulu kembang desa katanya di kampung." Aku tertawa meminta maaf. Semua ini gara-gara Aksara.

"Jadi karena saya kembang yang mulai layu, jadi Non siram lagi." Tini cemberut dan aku minta maaf sekali lagi.

"Siapa itu yang kami siram?"

Aku mengalihkan pembicaraan. "Jadi gak makan malamnya?" Aku tidak mau Aksara tahu aku menyiram anak orang karena baper dengan kata-katanya.

"Benar mau?"

"Hmm."

"Ya udah nanti malam Mas jemput."

Aksara menjemputku pukul delapan malam. Dia berkata kami hanya makan malam santai biasa. Jadi aku tak menyiapkan apa pun. Dan seperti katanya, kami memang pergi ke tempat makan malam biasa. Tapi dia mengajak orang yang tak biasa.

"Kok dia ada di sini?" tanyaku.

"Aku mau ngobrol lagi sama kamu. Kalau aku sendiri yang minta kayaknya kamu gak akan mau lagi ketemu samaku."

Aku mencerna kata-kata "aku sendiri yang minta" itu lalu menoleh pada Aksara. Dia hanya mengangguk bahkan sebelum aku bertanya.

Jadi pertemuan ini memang sudah direncanakan oleh mereka berdua.

***
Buat yang mau baca bab selanjutnya lebih dulu silakan kunjungi Karyakarsa ya 😁

Sincerely,

Dark Peppermint

LADY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang