36. Inem dan Cenora?

7.7K 882 114
                                    

Aku berguling kembali ke dalam bersama dengan semua bayangan-bayangan jahara itu memenuhi otakku.

Tapi syukurlah tak lama kemudian sepertinya Aksara sudah selesai mengganti celananya. Kulihat dia yang berjalan menuju pintu, lalu "hasyuh!"

Suara bersinku membuatku semakin yakin aku adalah makhluk terkutuk paling sial di muka bumi.

Untuk orang tua serta omaku di rumah, aku cinta kalian. Maafkan aku dan hidupku yang tak berguna selama ini.

Tubuhku semakin mengkeret saat suara langkah kaki Aksara terhenti, lalu mulai berjalan lagi. Dengan langkah-langkah yang semakin mendekat.

"Ada orang di sana?" tanyanya waspada.

Aku menelan ludah. Haruskah aku keluar sekarang, menyerangnya sampai pingsan lalu kabur dari sini? Atau aku pasrah saja? Mungkin dia tak akan melihat ke bawah kolong. Sial. Aksara berhenti tepat di depan kepalaku. Lalu dalam sekejap wajah Aksara muncul di depanku. Sontak aku menjerit sekuatnya, yang mana juga diikuti oleh Aksara.

Aku berguling cepat ke arah yang berlawanan, keluar dari dalam kolong lalu berlari menuju pintu.

"Tunggu!" Sebelah tanganku ditarik olehnya. Alhasil gerakanku terhenti hingga hampir terjengkang. Aku melirik ke belakang dan melihat wajah Aksara yang memerah kesal. Buru-buru aku berpaling sambil sekuat tenaga berusaha melepaskan cengkeraman tangannya. Namun gagal. Dia kuat sekali. Yang ada cengkeraman itu semakin menguat.

Artinya, sekarang aku terperangkap di kandang singa!!!

AKHHHH!!!

"Kenapa kamu sembunyi di kolong tempat tidur saya?" desisnya.

Aku masih tak mau menengok. Sebelah tanganku menutupi sebagian wajah. "Sa-sa-sa-sa--"

Ya Amplop, gaguku semakin parah saja.

"S-s-s-sa--" Siapa pun tolong aku! Satu patah kata pun tak bisa keluar lagi dari bibirku.

"Cepat jawab! Kamu sedang apa di sana?" Aksara terdiam sejenak, lalu seenaknya menuduh, "Kamu sengaja mau ngintip saya ganti celana?"

Sontak aku berbalik. "Mana ada! Saya bukan orang mesum! Buat apa saya ngintipin kamu!"

Setelah sadar dengan jawaban ngegasku, aku lekas buang muka kembali.

"Kalau bukan itu kenapa kamu ada di sana? Jelas-jelas tingkah kamu ini memang kayak orang mesum."

"Enggak ada!" Aku kembali ngegas tanpa sadar. "Enggak ada...," cicitku akhirnya sambil menunduk. "Saya benar-benar gak niat ngintip."

Walau aku melihat segalanya aku benar-benar tidak punya niat mengintip.

Baiklah, aku tidak punya pilihan lain sekarang. Aku harus kabur. Benar-benar kabur dan tak akan kembali lagi ke rumah ini sebagai Inem. Siapa peduli dengan nasib novel bejat itu. Hilang satu tumbuh seribu. Aku bisa menulis ulang yang lebih panas, lebih membara, lebih fenomenal. Jadi, aku pun menginjak kaki Aksara sekuatnya. Ia menjerit sambil melepaskan tanganku. Kugunaan kesempatan ini untuk berlari. Bibirku menyunggingkan senyum kemenangan, sampai akhirnya padam lagi saat Aksara berhasil menarik tanganku. Tarikannya sangat kuat sampai aku tak bisa menghentikan tubuhku untuk menubruknya.

Dahi kami bertubrukan dan... Tuhan!!! Sakitnya luar biasa. Selama ini aku percaya kepalaku agak kopong karena ukuran otak yang minimalis, dan sekarang, mungkin otakku sedang terpental-mental di dalam sana.

Aku meringis sambil memegangi kepala. Saat membuka mata kulihat Aksara tengah melakukan hal yang sama. Namun rasa sakit itu mendadak hilang tak bersisa. Karena sekarang aku menyadari sepenuhnya posisi kami yang agak janggal. Tidak, INI SANGAT JANGGAL.

WOI, SEJAK KAPAN KAMI MAIN TIMPA-TIMPAAN DI KASUR GINI!

Entah untuk yang keberapa kalinya dalam beberapa menit ini aku teriak kembali. Namun kali ini, saat aku ingin melarikan diri, Aksara dengan sikap membalik posisi kami. Kepalaku membentur empuknya kasur sementara Aksara menjulang tinggi di atasku. Dengan tangan yang masing-masing berada di sisi kanan dan kiriku, menumpu tubuhnya yang berada di atasku.

AKKKHHHH!!!

Aku tidak bodoh. Dan otakku masih berfungsi sangat baik sekarang. Sangat baik dalam memberikan informasi-informasi kotor. Posisi yang seperti ini kan sangat rentan khilaf.

"M-m-ma--"

"Shut!" Telunjuk Aksara memyentuh bibirku. Di saat bersamaan kuliat ia menelan ludah dan matanya yang sayu.

Berpikir positif, Cenora! Berpikir positif!

"Saya gak ada nyuruh kamu bicara, atau kamu mau kabur lagi, hm?" Wajah Aksara mendekat. Namun sebelum aku berteriak, ia menjauhkannya kembali. "Saya benar-benar gak ngerti sama kelakuan kamu." Air mukanya tampak bingung sekali. Bahkan ada raut-raut putus asa di sana. "Saya sampai berpikir apa semua perempuan memang sama. Tapi kayaknya perempuan lain gak akan ada yang sama kayak kamu. Kamu... beda banget. Gak tertebak. Saya gak pernah nyangka kamu bakal semenyebalkan ini, serumit ini, dan... semenarik ini." Bibir Aksara tertarik sedikit. Entah itu senyuman atau apa. "Sebenarnya, kenapa kamu ngelakuin semua ini, Cenora?"

Di situ akal sehatku terputus. Semuanya terasa semakin tidak nyata. Apalagi wajah Aksara sudah semakin mendekat. Dan kurasakan sebuah benda kenyal dan hangat mulai menghisapi bibirku.

***

"Ra?" Sebuah tangan melambai-lambai di depan wajahku. "Hoi!" Kepalaku terlonjak ke belakang saat tangan tidak sopan tersebut menoyorku.

Aku berdecak. "Apaan sih, Di?" sewotku, lalu mulai meminum jus jerukku kembali.

"Habis lo diem mulu dari tadi. Ngajak ketemuan tapi jiwa lo kayaknya lagi mengembara entah ke mana. Mana muka lo kumal banget lagi. Lo habis pecah perawan?"

Langsung kupelototi Heidi. Apa maksud ucapannya itu? Dia tahu sesuatu?

"Eh, serius?"

"Enggak!" seruku berlebihan dengan wajah yang memanas.

"Enggak kok muka lo merah," ejeknya bersemangat.

"Eng-engg--" Sialan. Sekarang aku tak hanya gagap di depan Aksara.

Tolonglah, gagap itu sangat tidak cocok dengan imejku. Tapi... apa aku masih punya imej yang harus dijaga ya?

Sepertinya aku dan harga diri sudah tidak bersahabat lagi sejak beberapa hari ini.

Aku kembali lesu tak bertenaga.

"Kenapa sih?" tanya Heidi. Kali ini dia tampak lebih serius. "Lo hari ini juga gak kerja. Novel lo udah ketemu? Enggak, kalo udah ketemu pasti wajah lo berseri-seri. Gak setai kucing sekarang. Jadi, lo ada masalah apa sebenarnya?"

Walau gesrek, kutahu Heidi pasti akan serius jika aku mulai menunjukkan gelagat depresi. Seperti sekarang ini.

"Di..."

"Hm?"

"Gue mau kuliah ke luar negeri."

"Apa?" Heidi sama sekali tidak kaget. Malah wajahnya tampak malas-malasan. "Gue salah udah mulai prihatin sama elo."

"Gue serius."

"Hm," ucap Heidi tanpa minat.

"Aksara udah tau."

"Udah tau apa?" Ia masih merespons malas-malasan sambil menyesap minumannya.

"Gue ketahuan, Di! Aksara tahu kalau Inem itu gue, Cenora!"

"Apa?"

"AKSARA TAHU KALAU INEM PEMBANTUNYA ITU ADALAH CENORA TUNANGANNYA!"

***

Oke, akhirnya ketahuan juga. Btw, menurut kalian sejak kapan Aksara tahu Inem itu Cenora? Baru kali ini aja atau udah dari dulu? 🤔

Sincerely,
Dark Peppermint

LADY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang