Mataku membola sesaat setelah kami masuk ke dalam bioskop. Aku menyetujui ajakannya karena merasa bersalah telah menuduhnya yang bukan-bukan dan mengatakan hal norak. Tapi...
Kami tiba di depan kursi kami dan aku semakin terperangah. Mungkin sebaiknya aku tak menyebutnya kursi. Jelas ini bukan sembarang kursi melainkan sofabed. Dilengkapi dengan beberapa bantal dan selimut.
BANTAL?
SELIMUT?
Haruskah kusebut ini kursi panas?
Aksara pun tampak canggung. Dia melirikku sekilas dan wajahnya sedikit merona. "Saya gak tahu kalau bioskop premium yang disebut sekretaris saya itu begini."
"Sekretaris?" beoku dengan suara pelan.
"Jangan salah paham lagi. Sekretaris saya laki-laki." Aku hanya memandanginya tanpa berkata apa-apa. "Saya masih suka perempuan kalau kamu lagi bertanya-tanya tentang orientasi seksual saya. Jadi saya gak selingkuh sama sekretaris saya."
Kurasakan pipiku sedikit merona. Aku pun berdeham guna menjaga suaraku tetap tenang. "Bukannya seharusnya kamu periksa dulu."
"Saya gak pernah tahu ada bioskop seperti ini. Saya kira semua bioskop pakai... Ya, kursi normal."
Kursi ini jelas tidak normal.
"Saya setuju karena katanya ini cocok untuk pasangan."
Aku menutup mulutku guna menahan cengiran.
Aksara merasa kami pasangan?
Kenapa pemikiran ini membuatku malu.
Namun sekarang aku sadar rona di wajah Aksara bukannya karena dia malu sepertiku. Laki-laki itu marah. Dia menyugar rambutnya dengan frustrasi. " Katanya fasilitasnya bagus. Ada tombol khusus buat manggil staf kalau kamu lapar. Makanya saya pikir kamu bakal suka tempat ini."
Entah kenapa muncul rasa prihatin dalam diriku melihat Aksara kalut begitu. Selama ini yang kulihat hanya dia yang angkuh dan seenaknya. Atau Aksara yang ramah dan baik saat aku bekerja di rumahnya. Dia tak pernah terlihat kehilangan kendali. Apalagi menurutku ini bukan masalah besar. "Saya...
"Maaf, Cenora. Kita pergi aja." Suara Aksara terdengar bergetar. "Seharusnya saya hati-hati. Perempuan polos kayak kamu..."
Aku tak bisa mendengar apa-apa lagi setelah mendengar kata perempuan polos itu. Inilah yang sering kualami setelah menjadi penulis novel bejat. Aku jadi gampang baper setiap ada yang menyebutku polos, lugu, atau kata-kata yang menyiratkan makna yang sama dengan dua kata itu. Mungkin ini semacam perasaan dosa.
Andai kalian tahu...
Hah...
"Aksara, gak apa-apa," ucapku tiba-tiba. Kutahu seharusnya aku menuruti saja keinginannya untuk pergi. Kujatuhkan tubuhku pada sofabed tersebut, lalu mengangguk-angguk tanda menyukai tempat tersebut. "Sofanya enak." Kutepuk-tepuk tempat di sebelahku. "Sini duduk."
"Kamu yakin gak masalah?"
Aku tertawa anggun. "Cuma kayak gini." Selanjutnya aku meringis di dalam hati. Sekarang kesannya aku terbiasa berbagi hal yang lebih dengan laki-laki.
Aku berdeham untuk menyembunyikan rasa gugup dan duduk dengan nyaman setelah membentangkan selimut.
Tak lama kemudian Aksara mengikuti. Dia duduk berselonjor dengan tangan menangkup di atas perut.
"Mau masuk ke dalam selimut?" tawarku. Lalu menyesal pernah berkata begitu.
Aksara melihatku sembari mengernyit. Jakunnya bergerak turun menelan ludah. "Gak. Kamu saja yang pakai."
Aku mengangguk dengan tenang. Siku kananku bertumpu di sebuah bantal dengan telapak tangan menyangga pipi. Mengingat kembali bagaimana jakun seksi...
Tunggu. Apa tadi yang kupikirkan?
Ja---
Tidak. Aku tak memikirkan sesuatu yang mungkin bakal merembet ke mana-mana.
Aku mulai bergerak gelisah dan tersenyum bahagia melihat filmnya akan dimulai.
"Filmnya mulai," komentarku. Yang dijawab Aksara dengan "hmm" yang menyebalkan.
Namun empat puluh lima menit kemudian aku sadar kebahagianku itu salah. Dengan tekun aku menekuri dinding, langit-langit, atau sofabed di depanku. Sebenarnya menekuri sofa di depanku bukan ide bagus. Sebab penghuninya yang selengket lem bukan tontonan yang bagus untuk menjaga pikiran tetap sehat.
Takut-takut kulirik Aksara. Badan laki-laki itu sekaku batu. Matanya terpaku pada layar besar di depan. Membuatku bertanya-tanya apa dia penikmat tayangan tidak senonoh ini. Tiba-tiba saja aksi curi pandangku ketahuan. Aku buru-buru buang muka.
"Mau makan sesuatu?"
"Aku mau---" Tiba-tiba suara desahan yang mengganggu menghentikan kata-kataku. Aku menutup mata menahan malu.
LSF* aku membutuhkanmu.
*Lembaga Sensor Film
Apa yang menayangkan film ini tidak punya rasa malu?
"Kamu mau pergi aja?" Aksara melihatku dengan sorot resah. Entah resah yang bagaimana. Aku harap hanya resah karena perasaan bersalah telah mengajakku ke tempat ini. Bukan resah karena hal yang lain.
Aku mengangguk cepat-cepat menanggapi tawaran Aksara. Lalu kami buru-buru keluar dari tempat yang entah mengapa terasa sangat panas itu. Saking panasku kukira aku salah masuk ke dalam tempat sauna.
Setelah berhasil keluar dari tempat yang bahkan tak mempan oleh dinginnya AC itu kami berdua hanya berdiam diri. Sampai di luar baru Aksara kembali buka suara.
"Maaf. Seharusnya dari awal kita langsung pergi aja."
"Ya, mau gimana lagi," jawabku seadanya. Pikiranku belum sepenuhnya sembuh dari semua hal yang baru saja terjadi.
Aksara menyugar rambutnya kembali. Membuat rambutnya semakin berantakan. Helai-helai yang jatuh tak beraturan di dahinya tampak---
Hah. Sial*n. Inilah mengapa kau butuh bacaan yang postitif.
Aku menggelengkan wajah kuat-kuat.
"Jadi kamu gak mau?"
Aku menaikkan dua alis pertanda tak paham dengan pertanyaannya. Aksara yang sudah frustrasi tampak semakin depresi dengan kebingunganku.
"Ya udah kalau kamu gak mau. Kita pulang aja," putusnya cepat dengan suara menahan geram.
"Kamu tadi ngomong apa?"
Dia melihatku seolah aku makhluk aneh berwarna hijau bertanduk, lalu mendesah lelah. Membuatku mendadak jengkel.
"Saya tanya kamu mau makan apa enggak. Tapi kamu langsung geleng-geleng kepala. Sejijik itu kamu makan sama saya?"
Tentu saja aku kaget mendengar penuturannya. "Sa--- Saya gak dengar kamu tadi ngomong apa."
"Gak dengar tapi langsung geleng-geleng. Kalau gak mau langsung ngomong aja," jawabnya emosi. Yang membuatku juga ikut naik pitam.
"Iya, saya memang gak mau makan sama kamu. Kalau sudah paham, sekarang saya pergi. Jangan ganggu saya lagi." Aku pun pergi meninggalkan laki-laki itu sendiri.
Entah apa yang terjadi padanya. Dia mirip anak perawan yang baru dapat haid pertama.
***
Sincerely,
Dark Peppermint
KAMU SEDANG MEMBACA
LADY MAID
ChickLitGara-gara perkara novel panas, Cenora menjadi pembantu rumah tangga. Lah, bagaimana bisa? Cenora yang tersohor itu kan anak konglomerat yang menjadi kiblat sosialita muda. Alasan pertama, Cenora belum mau menikah. Kedua, ada laki-laki gila yang ngeb...