Setelah mendapat uang jajan dari kakak laki-lakinya, Kin pergi dengan perasaan riang. Dia bahkan tersenyum tulus padaku dan pamitan dengan sopan. Efek uang memang luar biasa. Omong-omong bocah itu benar adik Aksara. Kin Adibrata Widan. Murid SMA kelas tiga yang tak dapat uang jajan sebab ketahuan bolos. Tentu Kin tak mendapat uang itu dengan mudah. Setelah ocehan panjang lebar tentang kelakukannya Aksara baru melunak. Walau aku curiga Aksara memberi uang juga untuk membungkam mulut adiknya tentang kejadian pagi ini.
Hari ini begitu selesai bersih-bersih rumah aku mencari keberadaan novelku lagi. Hari ini pun aku bisa sedikit lega. Aksara tak akan makan di rumah. Tak akan ada dapur kacau, tak akan ada mengganti belanjaan.
Entah untuk keberapa kalinya, aku masuk ke kamar Aksara. Di atas lemari pakaiannya terdapat sebuah kotak hitam yang mencurigakan. Sejak awal aku sudah ingin mengambil benda tersebut. Namun tinggi badanku tak sampai untuk mengambilnya. Bahkan dengan kursi sekalipun. Jadi hari ini aku mencari tangga di gudang, lalu dengan susah payah membawanya ke lantai atas. Di tangga aku agak kesulitan membawanya dan hampir saja terjatuh.
"Mbak ngapain bawa-bawa tangga?"
Mati aku. Belum dua puluh empat jam kenal bocah itu, sudah dua kali aku tertangkap basah olehnya. Sampai besok bisa-bisa dia tahu aku ini Cenora yang ia agung-agungkan. Namun yang membuatku lebih terkejut adalah sosok lain yang berdiri di samping Kin.
Kin lari menuju tangga dan membantuku membawanya.
"Ini buat apa Mbak? Ngapain bawa tangga ke atas?"
"I-itu buat ganti lampu." Penyakit gagapku kambuh lagi.
"Apa? Mas Aksa nyuruh Mbak yang cewek ini buat ganti lampu?" Air muka pemuda itu tampak tidak percaya. "Mas Aksa makin mengalami kemerosotan moral."
"Memangnya moral kamu sebagus apa Kin?" Pertanyaan penuh cibiran itu bukan keluar dari mulutku, melainkan dari seorang gadis cantik berwajah jutek di bawah. Sumber kekhawatiranku yang terbesar sekarang.
"Lo gak akan pernah nemu gentleman sebaik gue, Min."
Minna. Kalila Minna. Adik perempuan dari Khalil Malik, cinta bertepuk sebelah tanganku. Anak perempuan yang sudah kukenal dan sering kubelikan jajan sejak umurnya sepuluh tahun. Anak perempuan yang tahu jelas perasaanku ke kakak laki-lakinya dan sering menjadi sasaran curhatanku yang tidak jelas. Anak itu kenal baik aku. Bahkan lebih lama dari Andin dan Laura.
Heran benar aku. Dunia ini rasanya begitu sempit.
"Saya aja yang ganti lampunya, Mbak. Gini-gini saya jago ganti lampu kamar."
"Gak usah," jawabku agak terlalu cepat. Bisa gawat kalau dia tahu tak ada satu pun lampu yang rusak. "Masa iya saya nyuruh Mas buat masang lampu. Kalau dipikir-pikir saya panggil orang lain aja nanti."
"Bahaya, Mbak, manggil orang sembarangan. Apalagi kalau Mbak lagi di rumah sendirian." Kin sepertinya memang anak yang baik. Walau aku sangat-sangat tidak butuh anak baik sekarang.
"Gak usah, Mas. Ini ada teman Mas juga kan. Masa mau ditinggal." Aku meringis saat melihat ke bawah dan ternyata Minna sedang menatapku tajam.
"Ah, biarin aja dia Mbak," ucap Kin acuh tak acuh.
"Bener-bener sikap gentleman," sindir Minna.
"Ah, teman Mas marah itu. Udah benerin lampunya nanti aja." Aku buru-buru membawa tangga turun sebelum Kin semakin memaksa membantu memasang lampu.
"Duduk aja dulu Non," ucapku terpaksa ramah pada Minna sebab Kin agaknya tak berminat ramah pada teman yang dibawanya.
Kin membantuku dan membawa tangga itu kembali ke gudang di belakang. Begitu keluar aku bertanya padanya, "Siapa itu Mas? Pacar?"
"HA? Enggaklah." Reaksi Kin seperti orang kebakaran jengkot. "Siapa juga yang mau jadiin cewek jutek kayak dia pacar. Senyum aja gak pernah, malah kata-katanya nyinyir terus. Cueknya minta ampun. Dia itu nyebelin, Mbak. Mbak gak akan tahan lama-lama sama cewek kayak gitu. Dia..."
Kin mengoceh panjang lebar tentang seberapa besar rasa tidak sukanya pada Minna. Tentang rasa frustrasi, benci, amarah, terganggu, kekesalan, dan semua rasa negatif lainnya.Jelas sekali bocah ini tertarik pada Minna. Entah memang terlalu bodoh untuk sadar, atau terlalu gengsi untuk mengaku. Intinya, aku tak mendukung hubungan mereka untuk satu bulan ke depan. Bisa berabe kalau Minna jadi sering berkunjung ke sini.
"Jadi ngapain Mas bawa dia kemari?"
"Saya gak pernah mau bawa dia ke sini. Kami ada tugas kelompok bareng. Di rumah dia katanya gak bisa. Dia ngajakin ke kafe sih. Tapi uang saya gak ada, Mbak. Kan malu kalo ketahuan gak punya uang sama cewek."
"Bukannya tadi pagi udah dikasih uang jajan sama Mas Aksara?"
Dia menggaruk tengkuknya sambil melihat ke arah lain. "Udah habis, Mbak. Jangan bilang ke Mas Aksa ya. Itu uang buat seminggu."
APA?
Hampir saja aku berteriak dan ikut mengomelinya.
"Duh, Mas Kin ini." Hanya ini yang bisa kukatakan. Aku tak boleh menjadi pembantu menyebalkan tukang ikut campur.
Kami kembali ke dalam. Kin masuk ke ruang tamu sementara aku menyiapkan makanan ringan dan minuman buat mereka. Jantungku bertalu cepat saat harus mengantarkan makanan tersebut ke mereka berdua yang sudah mulai membuka buku. Aku menunduk dalam-dalam. Sebisa mungkin tak bertemu pandang dengan Minna.
"Makasih, Mbak," ucap Kin diikuti dengan Minna begitu aku menghidangkan makanan di meja.
"Iya," jawabku sehalus dan sekalem mungkin. Berusaha tak terdengar seperti cara bicaraku yang biasanya.
Aku buru-buru pergi setelah selesai. Mencapai pintu dapur aku menoleh sekilas. Gadis itu mendelik tajam padaku. Sialan. Aku buru-buru masuk ke dapur. Tatapan tajam Minna benar-benar mirip seperti Malik.
"Memang satu pabrikan," ucapku mengelus dada.
Mendadak ponselku bergetar. Buru-buru kubuka benda tersebut. Lalu beberapa detik berikutnya aku tersenyum. Ini dia. Bukti yang kuperlukan untuk memukul mundur Aksara.
"Akhirnya gue bisa dapatin novel gue balik."
"Novel?"
Badanku terlonjak. Suara jutek itu. Aku berbalik dan menemukan Minna dengan ekspresi malasnya tengah mengernyit.
"Dik Minna..."
Sejak kapan gadis ini masuk dapur?
"Minna?" Dia semakin mengernyit. "Saya gak ada ngasi tau nama saya ke Mbak."
"Gadis dengan IQ 136 memang beda."
"Ta-tadi Mas Kin yang ngasi tau pas balikin tangga."
"Ah, jadi gitu." Gadis itu kembali menatap tajam. Aku yang gelisah tak berani melihatnya. Sungguh lucu. Bisa-bisanya aku takut dengan anak kecil. "Tapi kayaknya Mbak salah ingat deh. Yang ngenalin aku ke Mbak itu bukan Kin, tapi Bang Malik."
Mataku memelotot. Sampai rasanya bisa keluar kapan saja.
"Mbak Nora sebenarnya ngapain di sini?"
***
Sincerely,
Dark Peppermint
KAMU SEDANG MEMBACA
LADY MAID
ChickLitGara-gara perkara novel panas, Cenora menjadi pembantu rumah tangga. Lah, bagaimana bisa? Cenora yang tersohor itu kan anak konglomerat yang menjadi kiblat sosialita muda. Alasan pertama, Cenora belum mau menikah. Kedua, ada laki-laki gila yang ngeb...