25. Pesona Orang Ganteng

7.1K 709 14
                                    

"AHH!!!" Aku menjerit sekuat tenaga sampai orang di depanku itu menutupi kedua telinganya.

"Kamu kenapa, Nem?" Mendadak semua terang saat tangan orang itu menyalakan sakelar di samping pintu.

"Maaf, Mas, saya kira siapa tadi."
Aku baru saja datang dan tak menyangka akan melihat Aksara sepagi ini. Gelap-gelapan dan berdiri di depan pintu. Jika ada petir yang menyambar pasti lebih heboh lagi.

"Mas ngapain berdiri di sini?"

"Oh, saya mau keluar."

"Ngapain? Ini kan masih gelap."

"Kamu sendiri ngapain masih gelap sudah sampai sini?"

"Mas kan sakit-" Aku terdiam. Benar juga. Kenapa aku datang sepagi ini hanya karena dia sakit.

"Saya udah baikan kok." Saat aku mendongak Aksara tersenyum lembut. Lalu raut wajahnya berubah khawatir. "Kamu gak datang sepagi ini setiap hari kan?"

Buat apa pula aku datang ke sini jam empat pagi.

"Enggak lah, Mas. Ngapain."

Saat Aksara mengernyit mendengar jawabanku, aku tersadar, sejak tadi aku tak berbicara seperti Inem sang pembantu yang lemah lembut dan bersahaja. Langsung buru-buru aku merubah sikap.

"Maksud saya, saya datang pagi-pagi sekali hari ini karena Mas sedang sakit." Kenapa aku menjawab pertanyaan yang sudah terjawab. "Gimana kalau badan Mas makin panas. Mas kan tinggal sendiri." Hei, mulut, kau punya pikiran sendiri ya? "Makanya saya datang terlalu pagi. Biasanya saya gak datang sepagi ini kok. Biasanya saya datang jam enam kok Mas. Kan kata Mas saya datangnya jam segitu aja."

Aksara tertawa kecil. Heran deh. Kenapa akhir-akhir ini dia hobi tertawa yang manis sekali begitu.

"Kamu boleh bicara lebih santai kayak sebelumnya ke saya kok, Nem."

Dia masih tersenyum.

"Kamu yang biasanya kayak takut banget sama saya."

Senyumnya kok bisa seindah itu.

"Jujur aja saya lebih senang kalau kamu lebih lepas."

Apa karena wajahnya yang ganteng banget itu?

"Saya merasa jadi bos yang jahat kalau kamu sampai kelihatan setakut itu sama saya."

Pasti iya. Aku memang sadar dia ganteng, tapi selama ini tertutupi karena dia menyebalkan.

"Kamu boleh bersikap sopan, tapi jangan terlalu takut sampai gagap-gagap."

Jadi apa sekarang Aksara sudah tidak menyebalkan?

"Nem?"

Masa iya hanya karena satu dua kali senyum ganteng dia jadi tidak menyebalkan lagi?

"Inem?"

Tapi sifatnya juga memang berubah-

"INEM?"

Mataku membeliak kaget.

"Kamu kenapa? Kok malah melamun. Saya ganteng ya?"

"Iya." Eh. "Saya..."

Aksara tertawa kencang. Sialnya tawanya yang heboh ini pun menawan sekali. Kenapa dia tidak terlihat jelek karena membuka mulut selebar itu? Kenapa tidak ada ludah yang terciprat? Kenapa tidak ada bulu hidung yang terlihat? Kenapa? Kenapa?

KENAPA?

"Saya merasa tersanjung kalau kamu merasa saya ganteng," ucapnya.

Aku mencibir, "Kayak Mas gak pernah dipuji ganteng aja."

"Oh. Saya sudah sering disebut ganteng kok." Nah, benar. Dia harus menyebalkan begini saja. "Tapi bukan berarti saya gak bisa merasa senang kalau kamu bilang saya ganteng."

Ah, apa sih. Dia pasti ahli menggoda wanita kan.

"Mas jangan ngomong sesuatu yang bisa bikin salah paham gitu," jawabku tenang. Ini adalah ketenangan yang biasa dipakai Cenora.

"Memangnya kamu salah paham apa?"

"Bukan saya yang salah paham," elakku. "Kalau orang lain yang dengar kan bisa berpikir yang enggak-enggak. Kata-kata Mas terdengar kayak gombalan."

"Terus kalau terdengar kayak gombalan memangnya kenapa?"

Memangnya kenapa?!

"Ya, gak boleh dong Mas. Gak bagus didengar orang lain." Kamu kan sudah punya tunangan, masa menggoda pembantu sih. Rasanya kesal juga kalau Cenora dikalahkan pembantu burik.

"Oh, gitu. Jadi kalau gak dilihat orang gak apa-apa kan?"

"APA?" jeritku. Si ganteng ini bilang apa. Tadi aku memang belum yakin, tapi ini jelas gombalan kan? Dia mengajakku selingkuh begitu? Tidak mungkin begitu kan? Aku pasti salah paham. Namun aku tetap memicingkan mata. "Mas gak ngajak saya selingkuh kan?" Bodoh amat dikira kepedean. Bisa ribet kalau dia suka sama Inem.

Dia tertawa lagi. Lalu mengacak rambutku seraya berlalu pergi. "Jangan mikir macam-macam."

Aku membeku beberapa saat, lalu berbalik untuk melihatnya yang sudah keluar pintu. Tanganku mengusap pipi.

Ini masih jam empat pagi, tapi wajahku rasanya panas sekali.

***

"Uang kamu habis lagi? Sebenarnya uangnya kamu pakai buat apa?" Aksara meletakkan cangkirnya agak terlalu keras.

"Ada deh. Pokoknya ini penting." Aksara menatap tajam pada adiknya. "Gak buat yang aneh-aneh kok."

"Kalau gak buat yang aneh-aneh kenapa kamu gak bisa jelaskan? Ini udah berapa kali kamu minta uang bulan ini?"

"Baru tiga kali."

"Tapi setiap uang yang Mas kasi itu seharusnya cukup buat sebulan. Dan kamu juga minta uang sama Mbak Renjana dan Mas Reski juga kan? Kalau dijumlahin uang yang kamu terima bulan ini udah terlalu banyak."

Kin terlihat salah tingkah.

"Mending kamu jujur sekarang daripada Mas yang tahu duluan apa yang kamu lakuin."

Pemuda itu berdecak sembari membuang muka. "Kalau gak mau ngasi, ya udah." Ia bangkit lalu pergi begitu saja.

"Kin!"

Tak dihiraukan.

KIN!"

Dan pemuda itu tak berbalik sama sekali. Aksara mengembuskan napas lelah.

"Ngurus anak remaja memang susah, Mas," ucapku yang sejak tadi diam, seolah sudah berpengalaman saja mengurus anak.

"Iya. Anak kamu sendiri bagaimana, Nem?"

Bagaimana siapa?

"Pasti susah harus berpisah sama anak yang masih kecil."

Sejenak aku lupa dengan status janda beranak satuku.

"Gitu deh, Mas," ucapku dengan tampang yang mengundang iba. "Tapi saya bersyukur anak saya penurut, gak susah diatur. Kadang di telepon masih suka nangis sih kalau anak bilang lagi kangen sama mamanya."

"Mama? Anak kamu manggil kamu 'mama'?"

Eh.

"Enggak. Anak saya manggil saya 'simboook'. Itu tuh kata ganti aja, Mas. Ya, kayak ibu, mami, mader, gitu Mas." Lagi-lagi aku bicara tidak jelas. "Karena suasana ibukota, Mas. Pada manggil papa-mama, bonyok-bonyokkan. Saya jadi ikut me-mama-mama-kan diri saya."

Aksara tertawa geli. "Oh, gitu. Gak masalah juga sih kalau kamu mau dipanggil 'mama' sama anak kamu."

"Iya, Mas," ucapku pendek saja. Kalau diperpanjang entah apa lagi yang akan kukatakan.

"Ya udah, saya berangkat dulu, Nem." Setelah tersenyum secerah matahari pagi, dia bergegas pergi.

***
Sincerely,
Dark Peppermint

LADY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang