Hai, Raf...
Nyatanya, ini masih tentang kamu. Seseorang yang harusnya sudah aku lupakan—kamu datang lagi. Sudah beberapa bulan atau tahun aku tidak mengingat kamu dan menulis tentang kamu lagi.
Tentang kesukaan kamu, tentang betapa menyebalkannya kamu, tentang mimpi-mimpi aku yang dulu ingin aku capai—Maaf, sepertinya aku tidak bisa.
Kamu masih menjadi topik pertama puisiku. Masih menjadi kisah yang ingin aku ceritakan ke dalam novelku. Sayang, tentang kamu dan segalanya membuat aku sakit.
Kabarmu yang sudah aku lupa, nama kamu yang sudah tidak aku ingat dan kehadiranmu yang sudah aku hapus dalam ingatan—nyatanya kembali hadir.
Kamu selalu bilang kalau aku akan menemukan pangeranku—dan itu kamu. Nyatanya, aku belum menemukan pangeranku—dan itu juga bukan kamu.
Hai Raf, kamu apa kabar? Baik? Bagaimana kuliahnya? Lancar? Nyatanya aku tidak pergi kemana-mana. Tidak ke Jogja dan juga ke kampusmu.
Aku daftar loh Raf. Ke Kampus kamu, aku juga datang waktu acara sebelum pandemi ini ada. Kampus dengan jaket kuning kebanggaan kamu. Tapi, aku tidak menemukan kamu.
Aku lupa tentangmu. Aku berhasil. Tapi, kenapa sekarang aku ingin menangis? Apa aku gagal karena tidak mendengar ucapan kamu?
Nyatanya kita bukan LDR Jogja-Jakarta. Nyatanya kita sudah menjadi asing. Puisiku sebelumnya mungkin tentang kemungkinan pertemuan kita lagi.
Ya, aku berharap sekali saja aku bertemu dengan kamu, Raf. Nama kamu juga menjadi nama karakter novelku yang sangat menyebalkan. Haruskah aku tulis kisah kita dalam kisahnya?
Rafa, terima kasih. Menyebalkan untuk menulis kamu lagi, tapi memuja kamu sudah menjadi bagian dari puisiku.
Aku menunggu di saat kita bertemu lagi dan entah apa yang terjadi. Aku menunggu.
Senjani A.P

KAMU SEDANG MEMBACA
Whelve
PoetryTulisan-tulisan klise yang datang pada saat yang tidak tepat, dan terlintas begitu saja. Ungkapan hati yang sudah hitam, gelap dan tak ingin seorang pun tahu apa yang ia rasakan, kecuali dari tulisan diam-diam. 𝐾𝑎𝑚𝑢 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑑𝑎...