Aku memandang lurus ke depan melihat satu keluarga yang tampak memiliki kasih sayang yang besar.
Aku mendesah,
Mengapa aku tidak bisa?
Apa Tuhan sebegitu bencinya sama aku sampai tidak memberikan aku kebahagiaan sedikit saja?
Atau memang Tuhan saja yang pilih kasih pada makhluk-Nya.“Beruntung sekali...”
“Apa kamu tidak bersyukur sudah di beri kesempatan melihat dunia?” aku tersentak.
Aku menoleh dan mendapati dia—laki-laki yang sama yang kutemui beberapa waktu lalu di pelipir pantai sedang membawa hasil tangkapannya.
“Apa yang harus di syukuri dari hidupku yang isinya semua masalah? Kalau di suruh untuk memilih mungkin aku lebih memilih tidak memiliki kesempatan melihat dunia ini.”
Aku mengerutkan dahi ketika melihat ia tertawa dan menepikan tangannya dari pasir yang menempel di tangannya.
“Dunia tidak sekejam itu. Lihat? Kamu datang untuk menikmati tenggelamnya sang Surya yang akan pergi digantikan rembulan bukan?”
“Kamu merasa hidup dan senang ketika melihat pelangi sesudah hujan?”
“Kamu merasa bahagia ketika orang yang kamu cinta tertawa?”
“Dan kamu juga menikmati desiran angin yang menenangkan jiwa dan raga.”
Aku terdiam.
Dia menatapku dengan senyuman manisnya, “Dunia ini tempatnya masalah. Lagipula, Tuhan menciptakan banyak masalah untuk kita mensyukuri nikmat yang Tuhan beri. Dan untuk kita tahu bahwa tempat menyelesaikan masalah yaitu berdiskusi dengan-Nya.”
“Kamu pun salah satu orang yang beruntung di pilih Tuhan untuk menikmati keindahan dunia ini. Kamu bernapas. Kamu bisa melihat dengan jelas. Kamu bisa berjalan. Dan kamu bisa menggunakan kedua tanganmu dengan baik.”
“Semuanya patut untuk disyukuri. Lagipula ya, Yang diberi harta berlebih pun bukan perkara dia adalah kesayangan Tuhan hingga Tuhan memberinya harta yang begitu melimpah. Itu adalah ujian—tentu saja bentuk kasih sayang Tuhan.”
Dia memandang ke depan—memandang hamparan lautan yang luas.
“Ujian apakah dia dapat menggunakannya dengan baik atau tidak. Apakah ia mengingat Tuhannya atau tidak. Apakah dia bersyukur atau tidak. Dan dengan harta berlimpah pun Tuhan masih memberinya masalah.”
“Ujian dan masalah itu banyak bentuknya dan beragam jenisnya. Kamu nggak bisa membandingkan Masalah dan ujian kamu dengan yang lain. Semuanya berbeda. Pun dengan penyelesaiannya pun berbeda.”
“Kamu dikasih semangkuk mie ayam dan diberi sumpit, garpu, dan sendok—tentu saja kamu akan memilih apa yang membuat kamu bisa dan mau. Kamu nggak mungkin milih sumpit ketika kamu tidak bisa memakainya, bukan? Yang ada repot akhirnya.”
“Sama saja seperti penyelesaian. Kamu tidak bisa melihat dari satu sudut pandang saja. Kamu harus pintar-pintar memilih penyelesaian yang bisa menyelesaikan masalah kamu bukan semakin merumitnya. Bagaimana caranya?”
“Seperti halnya menggunakan barang yang sudah diberi tata caranya. Begitu pula dengan masalah yang ada yang sudah diberi tata cara menyelesaikannya—berdikusi dengan-Nya.”
Aku melihatnya berdiri lalu tersenyum. “Saranku, kamu terima dulu dirimu, lalu terima lingkunganmu—maka ikhlas akan datang dengan nama yang begitu besar.”
“Semua orang beruntung. Dan semua orang memiliki kesusahannya masing-masing. Setidaknya hal terakhir yang bisa kamu lakukan adalah bersyukur dan menerima apa yang Tuhan beri kepadamu saat ini.”
"Azam!!”
Dia menoleh dan mengangguk menatap seorang laki-laki yang memanggilnya. Oh namanya Azam.
“Tersenyumlah. Hadapi dunia dengan lapang dada dan senyuman yang terpampang di wajah. Iri tidak akan menyelesaikan apapun. Aku pamit, sudah waktunya berlayar mencari ikan di lautan.”
“Jangan lupa bahagia dan ingat dunia tidak sekejam sekema otak belaka dan juga mungkin bisikan setan.”
Dia pergi berlari menghampiri temannya yang memanggilnya untuk mengarungi lautan.
Aku termenung.
Dan satu pertanyaan terlintas dalam benakku.
Sudah seberapa kenal aku dengan Tuhanku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Whelve
PoetryTulisan-tulisan klise yang datang pada saat yang tidak tepat, dan terlintas begitu saja. Ungkapan hati yang sudah hitam, gelap dan tak ingin seorang pun tahu apa yang ia rasakan, kecuali dari tulisan diam-diam. 𝐾𝑎𝑚𝑢 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑑𝑎...