Percakapan Pagi

5 1 0
                                    

Dengan napas terburu-buru aku duduk di depannya—sosok laki-laki yang teramat aku cintai. “Maaf, aku kembali terlambat,”ucapku dengan nada sedih dan permohonan maaf.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Senja. You did a great job.”

Aku menunduk—aku tahu dan sangat tahu kalau dia sangat kecewa denganku.

“Maaf,”
“Maaf,”
“Maaf,”
“Maaf,”

Aku mendongak kala tangannya menyentuh ringan kepalaku dengan usapan lembut. “Hey! It's okay.”

Aku menggeleng, “Tidak ada yang baik-baik saja. Aku selalu membuat kamu menunggu. Terus menunggu. Padahal aku yang membutuhkanmu, bukan kamu.”

“Please, forgive me. Aku tahu, aku sangat tidak tahu malu ya? Selalu meminta maaf ketika aku buat salah.. selalu memohon pertolongan ketika aku dalam masalah.. dan kembali tidak sadar ketika aku tahu kalau itu salah.. memang aku perempuan yang tidak tahu malu. Tapi, aku harus meminta maaf.”

“Selalu menyimpulkan sesuatu sendiri.” dia tersenyum dan kembali mengelus kepalaku, “You did a great job. Siapa yang tidak akan memaafkanmu ketika perempuan kecil ini menyesal dan dengan tidak berdayanya? Hey! apapun itu semuanya perlu dimaafkan.”

“Tapi....”

“Sudah, sudah. Mau kopi? Kebetulan kopi adalah minuman terbaik di pagi hari. Mau?”

Aku menghela napas dan tak ayal mengangguk. “Boleh.”

Dan semenjak saat itu aku selalu kembali berusaha memperbaiki diri. Agar tidak terlambat dan tentu saja tidak kembali membuatnya kecewa.

Senja
07:19 A.M.

PS: Mungkin ini percakapan yang akan terjadi jika aku bisa langsung menatap-Nya.

WhelveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang