Rafa Mahendra (9)

8 0 0
                                    

Aku menatapnya lembut dan menepuk kursi taman agar ia duduk di sampingku, "Sini, duduk dulu. Kamu jangan kaku jadi orang, deh, Rafa! Duduk sebentar dan nikmatin senja yang sebentar lagi terbenam," kataku dengan senyum yang tak pernah pudar sejak bertemu dengannya.

"Kamu pernah mendengar sebuah cerita? Sebuah kata kita yang tidak akan bertemu layaknya  kutub magnet ketika memang bukan dengan pasangannya."

"Kita-- bukan, maksud aku itu aku dan kamu itu ibaratkan dua kutub magnet yang sama, tidak akan pernah bersama dan bersatu. Kamu tahu mau seberjuang apapun, mau sekenceng apapun doamu kepada Tuhan. Kalau kamu memang tidak ditakdirkan untukku, maka kita tidak bisa dan tidak boleh memaksanya."

Aku tidak akan menatapnya kembali. Aku tahu pertahanan yang sudah aku bangun hancur bagai puing-puing-- sulit untuk kembali menyatukannya. Setelah perpisahan yang aku sendiri putuskan. Sebuah cerita yang memang tidak pernah kita mulai, berakhir dengan kepergianku mengasingkan diri ke negeri orang.

Aku tahu tatapan matanya masih sama-- tajam, datar, tegas dan mungkin semakin dewasa ia semakin berkharisma dan berwibawa. Tidak ada gurau sendu yang selalu keluar, jokes datarnya, dan perhatiannya kala ada kesempatan.

"Bagaimana rasanya nama kamu aku tulis di setiap lembar buku yang kujadikan sebagai pedoman hidup?" Aku terkekeh mencairkan suasana kaku yang dia ciptakan.

"Ah, mungkin lembar berikutnya adalah percakapan aku sendiri dengan langit? Kamu kenapa menjadi kaku dan tidak bersuara? Apa kamu sudah lelah berpetualang? Kapan kamu akan pulang?" tanyaku kepadanya.

Aku menghela napas ketika masih tidak ada jawaban. Namun, seperdetik kemudian hal yang sudah aku tahan segera aku langgar ketika suara berat menyapa telinga.

"Kamu apa kabar?"

Aku tertawa dan kembali menatap senja yang sudah ingin menghilang, "Setelah aku ngomong panjang lebar. Kamu hanya baru menanyakan kabar? Kamu mau dengar kabar aku yang mana?" tanyaku kembali.

"Senjani," aku mendengar.

Ya, semuanya masih sama. Lirihannya masih sama, aku ingin mendekapnya. Aku tak sanggup seperti ini, namun kita tidak bisa melakukannya.

"Xakirra, lucu banget tau, Fa! Kok bisa kamu buat anak yang lucu banget seperti Xakirra?" tanyaku dan memberanikan diri untuk menatap matanya.

"Senjani..."

Aku menghela napas, bangkit dari duduk dan berdiri di hadapannya. "Fa, kita sudah selesai—ah tidak, kata itu tidak tepat, bukan? Karena kita memang tidak memulai apapun dan tidak bisa menyelesaikan apapun."

"Kamu sudah beristri dan Xakirra yang sangat lucu. Lagipula, kabarku baik-baik saja, Fa" kataku dengan tenang.

"Jan—"

"Aku tidak jadi masuk UGM seperti rencana awal kita. Aku juga bukan seorang dokter saat ini, aku juga tidak ingin masuk ke UI. Aku takut nama kamu kembali melemahkan niatku yang memang sudah lelah."

"Kamu tahu apa yang lucu?" aku menatapanya yang selalu menatapku dengan tatapan yang sama seperti beberapa tahun yang lalu.

"Aku kembali bertemu dengan kamu."

Hening. Malam sudah mengambil alih siang untuk menggantikan makhluk-makhluk bumi beristirahat.

Aku kembali menatapnya, "Doakan aku juga dapat yang cantik dan lucu semenggemaskan Xakirra ya?" harapku sambil tersenyum yang dibalas gelengan pelan.

Aku menjauhkan tanganku ketika tangannya ingin menggapai. "Fa, aku harap ketika bertemu lagi nanti. Rasa ini sudah hilang dan kamu juga bisa ajak Xakirra bertemu denganku. Nyatanya, kamu menjaga dia dengan baik."

"Aku baik-baik saja, Fa. Sampaikan salamku sama istri dan anakmu ya. Bilang pada Xakirra bahwa aku Senja yang selalu datang ketika malam menjelang ingin bertemu dengannya."

"Mungkin seperti namaku juga, aku hanya hadir sesaat, memberi kenang dan pergi membawa luka. Makasih untuk semuanya." aku tersenyum.

"Aku pergi, ya. Kemarin aku tidak sempat pamit sama kamu. Jadi, sekarang aku pamit ya, Fa. Jaga diri baik-baik dan doakan aku untuk dapat yang terbaik."

Aku melangkah mundur dan berbalik meninggalkannya yang masih diam dan menatapku tajam.

"Senjani! Dengar! Senjani!"

Aku usap air mataku yang merembas. Sakit hati ini ketika bertatap kembali padanya. Aku ingin pulang, tapi ia bukan tempat pulangku.

Ternyata yang kemarin bukan yang terakhir, tapi ini atau mungkin masih ada kisah lain. Aku tidak tahu, tapi setiap berhubungan dengannya selalu akan kuceritakan pada kalian.

Mungkin itu yang aku akan katakan ketika bertemu dengannya. Atau...

Senjani A.P

WhelveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang