"Kamu akan pergi? Tidak ingin menetap lebih lama?" ucapku dengan tatapan sendu--berharap ia mengubah keputusannya saat ini juga.
Dia tersenyum, mengusak kepalaku pelan. "Nanti, kita akan bertemu lagi. Aku akan kembali lagi, jadi tunggu aku ya? Aku pamit, karena tugasku sudah selesai." sesak. Satu kata yang menggambarkan semuanya.
"Tidak bisa?"
Dia menggeleng, "Aku harus pergi, terima kasih sudah menikmati hari bersamaku dengan mencintaiku."
Aku tertegun. Bagaimana ia tahu?
Dia kembali terkekeh kecil, "Jangan sedih.. Kita akan bertemu lagi, mangkanya tunggu dan nanti aku ya?" pintanya dengan senyum menawan dibawah guyuran cahaya senja sore kala itu.
"Kalau kita tidak bisa berjumpa, bagaimana? Kalau ini adalah hari terakhir kita bersama bagaimana? Menetap ya?" pintaku ketika memikirkan pikiran konyol yang muncul tiba-tiba di pikiranku.
"Tidak bisa.. Tugasku sudah usai, sekarang teruskan tugasmu. Begitu pun aku."
Dia menjawil gemas ujung hidungku, "Tetap seperti ini ya! perubahanmu, sikapmu, cintamu. Kalau kita tidak akan bisa bertemu lagi, tidak apa-apa. Jangan bersedih, karena satu bulan ini kamu sudah menjadi yang terbaik dari yang terbaik."
"Tapi, jika nanti aku datang kembali menemuimu, jadilah versi terbaik dari terbaik dan yang terbaik, mengerti? Mari kita habiskan hari-hari dengan suka cita dan cinta suatu hari nanti."
Dia mengulurkan tangannya mengusak kembali rambutku, "Aku pamit ya? Aku akan sampaikan pada Tuhan, bahwa kamu sudah menjadi sesorang yang bidadari surga pun irikan. Jangan bersedih, kita akan bertemu kembali. Aku pamit." katanya dengan senyum menawan yang masih tersemat di wajahnya.
Aku? Jangan ditanya, sudah menangis dan terus menangis. Air mata ini mengapa tidak ingin berhenti? Akh!
Dia tersenyum dan berbalik meninggalkanku yang masih bisa melihat punggung lebar, tegap, kokoh, dan indah itu perlahan pergi.
Aku menghapus air mataku, seperti yang dia lakukan sebelum pergi tadi. Aku tersenyum lembut, benar! Aku tidak boleh seperti ini! Setiap pertemuan pasti ada yang namanya perpisahan.
"Ramadhan!" panggilku dengan sedikit berteriak agar ia mendengarku.
Aku bisa melihat punggung itu berhenti dan berbalik menatapku dengan senyumnya yang selalu menawan sambil melambaikan tangan.
Seperti tersihir, aku pun ikut melambaikan tangan dengan senyum lebar.
"Sampai jumpa!"
Dia mengangguk, "Ya, sampai jumpa."
Ketika sosoknya sudah tidak terlihat, aku kembali terjatuh dan meneteskan air mata.
"Ya, Ramadhan, sampai jumpa! Jangan lupa temui aku, dan aku berjanji akan menjadi versi terbaik dari terbaik dan yang terbaik. Aku mencintaimu dan aku harap ini bukan pertemuan terakhir kita."
"Sampai jumpa, Ramadhan..."
Aku berdiri dan pergi melangkah untuk kembali pulang ke rumah. Rumah, ya aku membutuhkan rumah saat ini. Terima kasih Ramadhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whelve
PoesiaTulisan-tulisan klise yang datang pada saat yang tidak tepat, dan terlintas begitu saja. Ungkapan hati yang sudah hitam, gelap dan tak ingin seorang pun tahu apa yang ia rasakan, kecuali dari tulisan diam-diam. 𝐾𝑎𝑚𝑢 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑑𝑎...