Ting! Tong!
Bel rumah berbunyi untuk yang kedua kalinya. Seseorang di luar sana sudah tak sabar untuk segera masuk ke dalam rumah itu. Tentu saja Nanda tidak akan membukakan pintu itu. Terlebih untuk orang misterius dan yang tidak ia kenal. Setiap ada tamu di rumahnya, Nanda selalu bersembunyi di dalam kamarnya. Dengan begitu dirinya akan merasa tenang.
"Mama bukain pintu dulu, ya," pamit Puspita.
"Loh emangnya Mbak Ijah kemana, Ma?"
"Mbak Ijah ke Jogja sayang, nemenin Oma."
"Oh," jawab Nanda meskipun masih ada begitu banyak pertanyaan di dalam otaknya. "Terus yang bantu Mama siapa nanti Pa?" tanya Nanda kemudian ketika Puspita sudah menghilang dari pandangannya.
Mana mungkin Nanda tega membiarkan Mamanya melakukan semua pekerjaan rumah seorang diri, sedangkan dirinya harus sekolah.
"Katanya Mama mau kerjain semua sendiri."
"Ya gak boleh dong, Pa!" protes Nanda. "Papa kan tahu sendiri kesehatan Mama kaya gimana." Andi mengangguk dan saat dirinya hendak menjawab pertanyaan dari putrinya, tiba-tiba Nanda melanjutkan perkataannya.
"Apalagi Mama sama Papa kan lagi ada job kan? Makanya pindah kesini biar gak bolak balik Jogja-Bogor."
"Iya, Sayang. Papa juga udah ngomong gitu ke Mama kamu, tapi tetep aja keras kepala. Coba nanti kamu yang ngomong sama Mama, ya?"
Nanda mengangguk. "Iya," jawabnya.
"Ya udah yuk ke bawah. Siapa tahu yang dateng temen kamu," ajak Andi.
"Gak deh, Pa. Papa aja yang kesana," tolak Nanda lalu kembali sibuk dengan gadget di tangannya.
"Awas ya di situ banyak hantunya," goda Andi.
Nanda bergidik ngeri. "Hiih," desisnya. Badannya gemetar, terlihat sangat jelas bahwa dirinya sedang ketakutan. dan dirinya langsung berlari mengejar ayahnya yang sudah menghilang dari pandangan. "Papa ngeselin banget!" gerutunya.
Sedangkan Andi tengah tertawa puas. "Memang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," batinnya sambil tertawa kecil. Ia mengingat memori dimana dirinya sering menakut-nakuti Puspita saat mereka berdua masih kuliah dulu.
Sedangkan di lain tempat, Puspita sedang berjalan ke arah pintu. Hendak membukanya. Dirinya menduga jika itu adalah Samuel, dengan semangat Puspita membuka pintu itu. Raut wajah yang awalnya berseri berubah menjadi kekhawatiran.
"Raya?" pekik Puspita. "Ya Tuhan kenapa bisa jadi kaya gini?!"
"Hiks.. hiks.. Sakit, Tan."
Puspita langsung merangkul Raya, membawanya ke arah sofa. "Sini duduk!"
Raya tersedu-sedu sambil menahan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Raya sudah biasa mengalami hal ini, namun mana mungkin dia bisa menahan rasa yang sesakit itu.
"Tante ambil kotak P3K dulu, ya," pamit Puspita terburu-buru.
Raya hanya bisa mengangguk lemas dan masih sesenggukan. Lalu dirinya mendongakkan kepalanya, melihat Nanda dan Andi yang saling mengejar.
"Seandainya gue punya keluarga yang harmonis kaya mereka," batin Raya merasa cemburu.
Raya bukan bermaksud untuk tidak bersyukur dengan hidupnya, dia hanya sedang merasa lelah.
"Jadi Lo tadi yang SMS gue?" tanya Nanda ketika melihat Raya duduk di ruang tamu.
"Iya Lo belum simpen nomor gue?"
"Sorry gue lupa," katanya. Ketika Nanda sudah berjalan mendekati Raya, dirinya dibuat terkejut setelah melihat wajah Raya yang penuh dengan luka dan lebam.
"Sini Raya!" suruh Puspita. "Tante bersihkan dulu luka kamu, ya?"
"Iya, Tan."
"Ma aku bantuin," pinta Nanda, lalu Puspita memberikan kasa kompres pada Nanda. Untuk mengompres memar yang ada di pipi Raya.
"Aw!" Raya merintih kesakitan.
__••__
Wah si Raya kenapa tuh?
Mau tahu kelanjutannya?
Next terus kalo gitu!
Jangan lupa vote sama komennya 🌨️
KAMU SEDANG MEMBACA
ACDP2 (Antara Cinta dan Persahabatan 2) - END
Teen Fictionfollow sebelum baca 🤭 Kelanjutan dari ACDP yang udah terbit •Belum direvisi• Jadi tolong dimaklumi kalau ada kata yang kurang nyambung dan salah ketik. Jangan lupa tambahkan ke perpustakaan kalian yaaaa jangan lupa follow juga biar gak ketinggalan...