Part 09

1.6K 279 29
                                    

Happy reading
.
.
.

Mobil Raya memasuki pekarangan rumah yang terlihat sederhana tetapi tidak meninggalkan kesan mewah.

"Turun." Suara dingin Ayah Raya langsung terdengar ditelinga Raya. Dengan segera ia keluar dari mobil mewah berwarna hitam tersebut.

Ayahnya --Andreas Winata Aafreeda-- seorang rajanya pembisnis. Gila perkejaan dan gila wibawa. Ia selalu dirumorkan bahwa keluarganya sempurna meskipun tidak ada sang istri, sang suami tetap kokoh. Apalagi ditambah sang anak semata wayangnya yaitu Soraya Aafreeda yang selalu bisa membanggakan nama keluarganya.

Mendiang sang istri --Selena Amaresh-- seorang yang baik hati dan penyayang. Tiadanya Selena selepas melahirkan anak pertama mereka. Dikarenakan Selena kurang cairan saat itu dan tidak segera di tangani.

Tentu Andreas murka. Pujaan hatinya, seorang yang satu-satunya dapat meluluhkan sifat dinginnya itu. Karena kemarahan menyelimuti dirinya, ia simpulkan bahwa kematian sang istri disebabkan oleh lahirnya sang anak. Hal tersebut membuatnya tidak menganggap Soraya sebagai anaknya dan selalu melampiaskan saat ia marah kepada sang putri yang tidak tau apa-apa.

Ditambah saat Andreas mengetahui sang anak memiliki kelebihan yang tidak masuk akal saat Soraya berumur 5 tahun. Andreas segera membawa ke psikiater karena ia kira anaknya gila. Karena gak tersebut pula Andreas menuntun sang anak agar cerdas dan selalu bisa. Tidak membiarkan putrinya mempunyai satu cacat di semua bidang. Menuntun dengan keras dan selalu keras sudah biasa bagi Soraya.

Saat ia melakukan kesalahan sekecil pun Ayahnya tidak main-main memberikan hukuman.

Soraya berjalan di belakang sang Ayah yang sedari tadi diam. Di dalam mobil maupun di rumah. Mereka memasuki ruang kerja pribadi Ayahnya. Nuansa hitam dan suram menyelimuti ruangan tersebut.

Ayahnya duduk di kursi kebanggaannya dan dirinya berdiri di depan sembari menunduk. Memainkan jari tangannya karena gugup dan takut.

"Keluarkan."

Soraya mendongak menatap mata hitam pekat sang Ayah yang tidak ada eskpresi apa pun disana. Terlalu datar dan dingin. Soraya seakan tau maksudnya pun mengeluarkan surat panggilan tadi dengan tangan gemetar.

"Jelaskan."

Soraya menggigit bibirnya. Ia hanya diam sembari menunduk. Gerakan jarinya semakin cepat sampai terlihat kemerah-merahan di tangannya karena goresan kuku. Ia tau, tanpa dijelaskan pun hukuman sang Ayah akan sama. Tetapi bukan itu yang ia takutkan. Karena rencana di otak sang Ayah dan batin Ayahnya yang membuat ia takut.

Jangan lupakan bahwa Soraya berbeda dari yang lainnya.

"Je.las.kan.So.ra.ya." Ucap Ayahnya lagi. Menekan perkata yang ia ucapkan.

Pikiran Soraya keruh. Ia gelisah.

Brak!

"KAU DENGAR ATAU TIDAK SORAYA AAFREEDA!" Teriak murka Andreas, berdiri dari duduknya. Menggebrak meja hitam mengkilat itu dengan tatapan membunuh ke arah sang putri.

Kepala Raya semakin menunduk.

"Saya tidak pernah mengajarkan kau untuk melakukan kesalahan. Apa ini? Panggilan BK?" Andreas melempar kertas itu dihadapan Raya. "KAU BERNIAT INGIN MEMBUAT KU MALU HAH?!"

Raya menggeleng cepat sembari menunduk menyembunyikan cairan bening yang mulai keluar dari kedua matanya. Ia memang tidak pernah menangis tapi saat di hadapan Ayahnya, entah kenapa hatinya sakit.

Plak!

"APA KAU TIDAK CUKUP MEMBUNUH SELENA? KAU INGIN MEMPERMALUKAN KU? HAH?!"

Andreas menampar pipi Raya sampai kepalanya menoleh ke samping karena saking kerasnya.

TEENAGER | End Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang