"Arum?"
Tangan Arum yang sedang menggerakkan pena di atas kertas terhenti. Beberapa saat lalu, Rumi meminta bantuannya untuk mengecek list peralatan sound system apa saja yang sudah dan belum tersedia, tapi rupanya dia terlalu larut dalam pekerjaan sampai tersentak begitu namanya di sebut.
"Rum." Suara tadi terdengar lagi. Kepala Arum mendongak dan hanya dalam hitungan detik, dadanya bergemuruh kala langkah-langkah kaki yang besar itu semakin mendekat ke arahnya.
"Ya, Mas Bara?" Dengan cepat Arum bangkit dari duduk, menatap Bara dengan sopan. "Ada apa?" tanyanya.
Bara Aswangga. Lelaki pertama yang Arum suka. Dan perasaan itu sudah tertanam sejak empat tahun lalu sejak dirinya mulai diterima bekerja sebagai pegawai tetap di D'Amore Organizer. Sayang, perasaan Arum tidak pernah berbalas karena memang ia hanya menyimpannya rapat-rapat dalam hati.
"Sudah antar barang-barang yang tadi saya bilang ke kamarnya Arkana?"
Arum mengerutkan kening, namun saat otaknya mulai paham maksud ucapan Bara, ia menepuk keningnya sendiri. "Maaf, Mas. Saya lupa."
Untung Bara hanya menghela napas, tidak marah-marah sampai menciptakan drama. Sebagai Production Manager di D'Amore Organizer, Bara adalah satu-satunya atasan yang punya julukan 'malaikat'.
"Kalau gitu tolong antar sekarang, ya, Rum. Manajer Arkana barusan ke sini, kasih tahu kalau si Arkan udah nunggu barang-barang itu dari tadi."
Sembari beristighfar, Arum mengangguk-angguk. Bisa-bisanya dia ceroboh. Menyiapkan segala keperluan yang diinginkan artis pengisi acara pesta adalah hal dasar yang paling penting. Kalau artisnya marah karena merasa tidak diberi pelayanan baik, bisa-bisa kerjasama dibatalkan sepihak, lalu berujung D'Amore Organizer yang akan mendapatkan masalah dan rating buruk di mata masyarakat. Apalagi jika sang artis menyampaikan keluhannya ke media sosial. EO mereka pasti ditegur general manager hotel, Bu Freya, yang galaknya terkenal lebih dahsyat daripada suara letusan bom rudal.
"Iya. Saya ke sana sekarang, Mas." Setelah menjawab tegas, Arum segera bergerak keluar dari kubikelnya. Belum juga tubuh gadis itu mencapai pintu ruangan, ia terkesiap ketika Bara menahan lengannya dalam satu tarikan cepat. Membuat tubuh keduanya berhadapan dalam jarak dekat.
Menahan gemuruh debaran di dada, Arum memberanikan diri mendongakkan wajah untuk menatap sang atasan. "Ma-Ma-Mas Bara kenapa pegang tangan saya?"
"Kamu mau ke mana?" tanya Bara, keningnya berkerut samar.
"Lho? Antar barangnya ke kamar Arkana lah, Mas. Tadi, kan, Mas Bara nyuruh saya ke sana. Kok, sekarang ditahan-tahan?"
Bara tersenyum geli. "Apa yang mau kamu antar, Kencana Arum? Angin?" Dia menunjuk ke ruangannya sendiri yang berada di sudut barat dengan ujung dagu. "Barangnya masih di ruangan saya, tuh. Tadi dititip sama Nirmala."
Terperangah, Arum mengedip tidak percaya menatap Bara. Lalu setelah berdeham untuk menetralisir rasa malunya, gadis itu segera berbalik dan mengacir pergi menuju ruang kerja atasannya.
*
Sayangnya, lepas dari Bara tidak serta merta menghentikan debaran jantung Arum. Justru sekarang, jantungnya bertalu-talu lebih parah. Bukan, bukan karena Bara ada di dekatnya, atau karena ada orang lain yang dia suka, tetapi karena alarm tanda bahaya sudah berdengung di kepalanya sesaat ketika pintu lift baru saja terbuka.
Tidak ramai orang, hanya ada dua. Tapi itu berarti musibah, karena Gallendra bersama seorang wanita ada di dalam kotak kecil pengangkut manusia itu.
"Tidak jadi naik?" Suara Gallendra-yang untuk pertama kalinya Arum dengar setelah bertahun-tahun lamanya- mengisi gendang telinga Arum, menyentaknya kuat sampai-sampai dahi gadis mungil itu terjedut kardus besar berisi barang-barang yang baru saja diambilnya dari ruangan Bara.
"Hati-hati, Mbak."
Arum mengangguk atas ucapan Gallendra. Sambil membawa kardus berukuran besar dalam dekapan dada, gadis itu melangkah masuk ke dalam lift. Menekan tombol angka sembilan di samping pintu untuk menuju kamar Arkana.
Tiga menit terlewati dalam hening. Arum sengaja berdiri di sudut, sementara Gallendra berdiri di tengah-tengah dengan sang kekasih-perkiraan Arum-yang terus-menerus menggandeng lengan Gallend penuh mesra. Sejak tadi, Arum merapal doa agar tidak ada kejadian tak senonoh yang kembali dipertontonkan Gallendra di dalam lift ini.
Sejenak, ia merasa lebih tenang. Tapi, saat pergerakan lift yang tiba-tiba terhenti selama lebih dari lima menit, disusul lampu lift yang perlahan-lahan meredup hingga sepenuhnya mati, kepanikan menyerang Arum dengan hebat.
Liftnya jangan mati sekarang, dong!
Arum masih di ruangan yang sama dengan Gallendra, nih!
KAMU SEDANG MEMBACA
Precious Stage
RomanceBagi Arum, Gallendra adalah buaya buntung berwujud manusia! Dia pria hidung belang yang pernah Arum temui di sepanjang sejarah hidupnya. Dalam sehari, Arum bisa memergoki Gallend bermesraan ratusan kali dengan cewek beda di mana saja. Dan kapan saja...