Seharusnya Gallendra tidak pernah lahir.
Jika dirinya hanya akan membawa malapetaka untuk setiap orang yang berada di sekitarnya, seharusnya dia tidak pernah dilahirkan. Dulu sang Ibu, lalu kedua orang tua angkatnya, dan sekarang ada perempuan lain yang kemungkinan besar telah menjadi objek pelampiasan nafsu sialannya.
Gallendra menoleh ke arah pintu kamar mandi di hadapannya. Dari pinggir ranjang, mata lelaki itu terus memantau tiap kemungkinan pergerakan pintu tersebut dengan perasaan mencamuk.
Tidak pernah sekali pun dalam hidupnya, suara gemericik air menggantikan suara hujan meteor yang siap meremukkan bumi. Bumi Gallendra yang semula tenang dan baik-baik saja, kini berpotensi hancur binasa. Denting detakan jam pun ikut memekakkan telinga, membuat lelaki itu semakin mengepalkan tautan jari-jemari tangannya dengan kepala yang tertunduk semakin dalam.
DRIIIT
Kepala Gallend terangkat cepat. Pintu kamar mandi barusan terbuka, dan sosok perempuan yang diketahuinya bernama Arum kini melangkah keluar dari dalam ruang kecil tersebut. Ada rasa lega yang teramat sangat dirasakannya begitu menemukan gadis itu telah menggenakan gaun yang semalam dipakainya ketika perayaan tahun baru.
Gadis?
Siapa pun yang melihat jeli, pasti sadar bahwa bibir lelaki itu sedang melengkung miris secara samar saat ini. Masih tepatkah kata tersebut diperuntukkan bagi Arum? Jika tidak lagi, maka..
Sial. Dirinya memang benar-benar bejat. Bisa-bisanya ia melakukan hal 'itu' pada perempuan polos seperti seorang Kencana Arum.
Suara dehaman menyentak Gallendra. Segala pikirannya yang berkecamuk buyar tepat ketika matanya bersirobok dengan telaga hitam milik Arum. Sepasang kelopak mata perempuan itu mengerjap, saat itulah Gallendra menemukan setetes cairan bergulir turun mengaliri pipinya.
"Sa-saya udah siap." Arum berkata terbata. Telunjuk kanannya tiba-tiba mengacung ke arah kamar mandi. "Ma-Mas Gallend udah bisa pakai kamar mandinya."
Seharusnya Arum marah. Seharusnya Arum memukul, menampar, bahkan seharusnya menghabisi Gallendra tanpa ampun. Tapi, yang perempuan itu lakukan sejak tadi hanya menangis. Lalu seolah tidak terjadi apa pun, perempuan itu berjalan cepat memasuki kamar mandi dengan menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut. Membungkusnya bagai kepompong.
"Mas Gallend?" Arum memanggil lagi.
Setelah semuanya, masihkah harus perempuan itu bersikap setenang ini? Sial. Itu bahkan lebih menyiksa untuk Gallendra.
Beberapa detik lamanya kedua orang di kamar itu hanya mampu saling menatap. Seolah menelisik kebenaran apa yang terjadi semalam yang mungkin saja tersimpan di balik kedua manik mata. Tapi, nihil. Justru helaan napas Arum kemudian membuat Gallend sontak berdiri sembari mengusap tengkuknya, canggung.
"Oke." Setelah mengatakannya, tanpa menoleh pada Arum lagi, Gallendra melewati perempuan di hadapannya itu dengan langkah cepat dan tergesa. Meninggalkan Arum yang hanya mampu tercenung dalam kesendirian dan kesedihan yang pilu. Hatinya serasa diiris sembilu.
Sejak keduanya sama-sama melihat kenyataan kondisi tubuh mereka di atas ranjang beberapa jam lalu, tanpa bicara apa pun lagi yang bisa Arum lakukan hanyalah menangis dan menangis. Bahkan untuk sekedar menguntai kalimat amarah pada Gallendra, bibirnya serasa kelu.
Melihat Gallendra hanya mengenakan boxer saja, hal itu memperparah firasat negatif yang terus bercokol di benak Arum dari sejak dirinya menemukan kondisi tubuh bagian atasnya sendiri yang hanya berbalut pakaian dalam. Ia marah.. tapi bukan hanya pada Gallendra. Dia marah dan jijik dengan dirinya sendiri.
Dan jika benar.. jika benar apa yang terjadi semalam adalah seperti apa yang Arum takutkan, maka tamatlah riwayatnya. Tamat sudah. Dunianya pasti hancur, lebur tak bersisa.
Rintikan gerimis yang entah sejak kapan menjadi hiasan nada di balik jendela yang terbuka setengah-mungkin Gallend yang membukanya- menjadi pendukung hati Arum untuk meratapi kemalangan nasibnya sendiri.
Kakinya melangkah cepat. Dengan tangan bergetar, ia menyambar ponselnya yang tergeletak di atas nakas samping ranjang.
Sebelum Gallendra selesai dari kamar mandi, Arum harus segera meninggalkan tempat ini.
Pasti semua yang terjadi semalam hanya salah paham. Pasti mereka hanya sama-sama mabuk dan tidak sengaja tertidur bersama. Hanya tidur yang semestinya tidur.
Tapi..
Belum sempat tangan Arum menekan knop pintu kamar, tubuhnya merosot jatuh hingga terduduk di lantai. Pertahanannya runtuh.
Bagaimana jika dugaan Arum salah? Bagaimana jika apa yang barusan ia pikirkan hanyalah caranya untuk menolak kenyataan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Precious Stage
RomanceBagi Arum, Gallendra adalah buaya buntung berwujud manusia! Dia pria hidung belang yang pernah Arum temui di sepanjang sejarah hidupnya. Dalam sehari, Arum bisa memergoki Gallend bermesraan ratusan kali dengan cewek beda di mana saja. Dan kapan saja...