"Lepasin!"
Gallendra menghela napas kuat setelah tangannya yang menarik lengan Arum disentak oleh gadis itu. "Arum, please.." ditatapnya gadis yang kini berdiri tepat di hadapannya sembari memijit pelipis. Pusing. Sejak ia memaksa Arum keluar dari resto untuk dibawa ke sebuah koridor sepi, gadis itu terus memberontak seperti pendemo massal.
"tolong jangan drama. Jangan nangis di sini. Kita harus bicara. Sekarang." tegas Gallend.
"Siapa yang mau nangis, sih?" Arum melotot. "Saya lagi marah!"
Pernyataan Arum sukses membuat Gallend melongo, lalu berdeham untuk menetralisir rasa malu akibat salah tebak. "Oh. Mukanya enggak jauh beda sama nangis."
Memang benar. Alih-alih kelihatan murka, wajah Arum lebih mirip anak kucing yang mengeong-ngeong ditelantarkan di tengah jalan.
"Mas Gallend apa-apan, sih?" Bibir Arum mencebik. "Ngapain ngomong kayak tadi di depan teman-teman saya? Kalau mereka mikir macam-macam gimana? Lagian seenaknya aja main minjem saya, emang saya barang."
Gallend mendesah. Berpikir untuk segera menghentikan perdebatan konyol ini karena ada pembahasan lain yang lebih penting. "Oke, saya minta maaf, Rum. Tapi saya terpaksa ngelakuin itu. Kamu selalu lari kalau saya cari. Emangnya saya kuman?"
Lagi-lagi, Arum mendecih mendengar kalimat Gallend yang seolah membalas balik kata-katanya tadi. Sedangkan Gallend terdiam, mencoba memilah kata yang tepat. Beberapa detik kemudian, ia menatapi Arum lagi.
"Arum, tolong dengarin saya. Apa pun yang kamu cemaskan tentang diri saya, tolong buang jauh-jauh dulu. Gimana pun, kita harus menyelesaikan masalah kita kemarin."
"Memangnya harus diselesaikan bagaimana, Mas? Saya juga bingung. Karena saya sama sekali enggak ingat. Itu pertama kalinya saya mabuk. Kepala saya pusing banget waktu itu."
Galllend mengangguk-angguk, paham. "Yang saya ingat, saya juga enggak melakukan sesuatu yang aneh malam itu. Tapi ingatannya samar-samar."
Selama hampir satu menit keduanya saling diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Kamu ingat masalah CCTV yang ditutup dengan lakban itu?" suara Gallend membuyarkan lamunan Arum.
"Entah kenapa, rasanya saya yakin kalau ada yang berusaha menjebak kita."
Kedua alis gadis itu bertaut. "Kita?" Yang ditanya hanya memberi jawaban dengan anggukkan kepala yang mantap. "Tapi, siapa? Dan.. kenapa harus kita?"
Kali ini Gallend menggeleng pelan, cukup ragu saat berkata, "Saya juga enggak ngerti. Saya juga bingung kenapa kamera pengintai di alarm itu bisa ada. Tapi, penjelasan staff ruang CCTV makin meyakinkan dugaan saya kalau semuanya memang penjebakan."
Gallend diam sesaat, berpikir. "Mungkin.. bukan kamu yang dijebak. Tapi, saya." Penjelasan lelaki itu langsung membuat Arum memandang bingung.
"Kenapa Mas Gallend bisa mikir gitu?"
"Memangnya kamu merasa punya musuh?"
"Saya pernah berantem, sih."
Serta-merta ucapan Arum menarik perhatian Gallend. "Sama siapa?" tanyanya.
"Sama ibu-ibu, Mas. Temannya klien EO kami. Waktu itu dia nuduh Rumi punya hubungan gelap sama suaminya. Padahal suaminya lagi proses booking ballroom untuk keperluan acara kantornya. Jadinya, ya, Mas.. acara sunatan anaknya klien kami itu malah berantakan gara-gara ibu tadi. Dia jambak-jambak semua orang, lho. Saya juga kena." Ekspressi Arum yang merengut saat mengucapkan kalimat terakhir menciptakan tawa kecil Gallend. Sungguh, dia tidak pernah menyangka jawaban Arum malah sekonyol itu. Padahal tadi, Gallend sudah memikirkan rangkaian pertengkaran serius. Karena mendengar gadis itu terlibat dalam kehebohan saja, rasanya sudah aneh.
"Gara-gara ibu itu, saya sampai beli minyak penguat ramb—" Arum membeliak. "Kok, saya malah cerita, sih, Mas?"
Gallend menggendikkan bahu asal. "Lho 'kan kamu yang cerita. Bukan saya yang suruh."
Pada akhirnya, gadis itu menepuk-nepuk bibirnya sendiri. Mungkin cara agar dia tidak lepas kendali bercerita pengalaman bertikai-nya seakan-akan menceritakan pengalaman liburan yang menyenangkan. Karena, suara Arum malah terdengar begitu bersemangat tadi.
"Ya udah terus gimana ini?"
Kedua orang itu saling menatap. Ada pendar bingung dan gelisah yang Arum lihat di netra Gallend, membuatnya merasa sedikit kasihan pada lelaki itu. Sejujurnya, Arum bisa merasakan lelaki itu merasa sangat bersalah.
"Begini aja, Mas. Saya udah mikir keras semalaman. Dan sekarang saya yakin." Yah. Itulah yang membuat Arum bisa bekerja dengan lebih baik hari ini. "Sebaiknya kita berdua sama-sama anggap malam itu enggak ada apa-apa yang terjadi di antara kita. Toh, saya sendiri juga punya firasat yang kuat kalau kita gak melakukan—" Ragu, Arum melanjutkan dengan kalimat, "Mas tau maksudnya."
"Tapi, Rum—"
"Udah, Mas. Udah. Enggak usah dipikirin lagi, ya?"
Gallend tidak mengerti. Jelas Arum yang paling dirugikan di sini, tapi kenapa dia terlihat jauh lebih tenang dan berpikir seolah kejadian kemarin bukanlah masalah yang berat?
KAMU SEDANG MEMBACA
Precious Stage
RomanceBagi Arum, Gallendra adalah buaya buntung berwujud manusia! Dia pria hidung belang yang pernah Arum temui di sepanjang sejarah hidupnya. Dalam sehari, Arum bisa memergoki Gallend bermesraan ratusan kali dengan cewek beda di mana saja. Dan kapan saja...