[Stage 23] Tentang Gallendra

10.2K 1.2K 26
                                    

"Beneran enggak apa-apa kita makan di sini? Atau mau cari restoran aja?"

Arum sedang melepas seatbelt ketika Gallend bertanya, ia menoleh pada lelaki itu sesaat sebelum mengalihkan pandang melewati kaca mobil ke sebuah warung bakso yang baru saja mereka datangi. Di pesta tadi, usai mendengar pembicaraan Gallend dan teman-temannya, Arum menjauhi kerumunan tamu dan memutuskan duduk termenung hingga beberapa menit lamanya di luar ballroom hotel. Butuh usaha keras untuknya menenangkan diri dari sesuatu yang sangat tidak ia mengerti.

Rasa tidak nyaman ketika mendengar mantan Gallend menanyakan keberadaan lelaki itu. Perasaan terusik saat mengetahui Gallend bahkan tidak mencoba mengalihkan pembicaraan, juga rasa marah ketika mungkin Arum hanya dianggap sebagai salah satu bentuk keisengan Gallend semata dari sudut pandang salah satu teman Gallend.

Cukup lama Arum terbelenggu dalam segala resah, hingga Gallend tiba-tiba datang dan sialnya, menunjukkan sikap terlalu kentara cemas hanya karena Arum tak kunjung muncul di hadapannya. Pria itu sempat mengajak Arum mencicipi makanan pesta, tapi Arum menolak keras dan malah meminta pulang sendiri. Arum sudah menyiapkan berbagai alasan yang masuk akal sebagai permintaan maaf tidak dapat menemani lelaki itu di pesta temannya lebih lama, tapi Gallend justru memintanya menunggu sesaat agar ia bisa berpamitan pada teman-temannya.

Satu hal yang mengusik pikiran Arum di sepanjang perjalanan tadi, adalah kebiasaan Gallend yang kini baru ia sadari. Bahwa sejak awal, meski pun mengesalkan karena suka menjahilinya, Gallend tak pernah memaksakan kehendaknya pada Arum. Dan entah mengapa, ada sebahagian dari diri Arum yang mengakui bahwa lelaki itu kerap berusaha membuatnya bahagia dan nyaman.

Seperti beberapa saat lalu, entah karena peka dengan ketidaknyamanan Arum atau memang sedang ingin mengisi perut yang kelaparan, Gallend mengajaknya makan malam di luar alih-alih memaksakan inginnya  menikmati hidangan pesta yang gratis.

Sekali lagi, usaha keras Gallend untuk membuat Arum bersemangat lagi terpancar ketika lelaki itu menanyakan Arum ingin makan apa. Saat Arum menjawab bakso dengan senyuman terpatri di bibir, lelaki itu membawanya ke warung bakso langganan lelaki itu. Tapi, saat mereka tiba di salah satu warung di daerah Cokrodiningratan, Gallend ragu. Mungkin ragu karena melihat ramainya pengunjung.

"Enggak apa-apa, Mas. Tempatnya rame, pasti baksonya enak." Jawab Arum akhirnya. Ia menoleh pada Gallend lagi dan tertegun saat mendapati lelaki itu tersenyum menatapinya lembut. Hanya dalam sepersekian detik, telapak tangan lelaki itu sudah membelai pucuk kepalanya.

"Udah hawa banget, ya?"

Arum berdeham, mencoba menekan debar lirih yang mulai jumpalitan dalam dada.

"Ya udah, ayo." Suara Gallend membuat Arum terkesiap, susah payah dirinya mengangguk. Lalu bergerak untuk beranjak turun, namun..

DUK!

Arum meringis karena dahinya terjedut kaca mobil. Sebelum ia memegangi bagian wajahnya yang sakit, jempol tangan Gallend sudah lebih dulu mengusapinya sembari lelaki itu mendumel.

"Hati-hati turunnya. Pintunya dibuka dulu, dong, Sayang. Main loncat aja kayak kucing."

Arum memberengut menyadari nada geli yang tersirat dalam suara Gallend. Salah siapa yang membuat Arum tidak fokus? Lelaki itu malah menertawainya, padahal dialah biang keladi dari ketidakwarasan Arum sekarang.

Keduanya turun dan memasuki warung. Gallend menuntun Arum dengan menggenggam jemari gadis itu saat melewati deretan meja yang sudah dipenuhi banyak orang. Mungkin karena malam minggu dan cuaca dingin yang tengah menyelimuti Yogya, warung 'Bakso Mang Jaka' ini ramai  dikunjungi. Harum kaldu bakso yang menguar menambah ketidaksabaran Arum untuk segera mengecap jajanan lokal itu.

Precious StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang