Dinding cokelat menjadi pemandangan yang menyapa netra Arum ketika membuka mata. Gadis itu mengerjap-ngerjap, membiasakan retinanya untuk menerima cahaya dari ruangan. Kicauan burung terdengar jauh, tapi cukup menyadarkan Arum bahwa waktu sudah menjelang pagi.
Ia menguap sebentar sebelum menuruni ranjang kamarnya. Tapi, warna lantai keramik membuatnya termangu beberapa detik. Kok, lantai kamarnya tiba-tiba berubah motif? Dari motif marmer menjadi putih polos?
Saat terlintas dugaan dirinya diculik, Arum bergeleng kuat untuk mengenyahkan pikiran buruk. Untung pakaian dan tas miliknya di atas nakas masih lengkap. Terburu dan ketakutan, Arum segera berdiri dan menyambar tas sebelum bergerak cepat membuka pintu kamar yang syukurnya tidak dikunci, tapi..
BRUK!
Bahu seseorang menubruk wajahnya. Membuat dia hampir terjengkang jika saja orang itu tidak menarik lengannya sehingga Arum kembali berada dalam jarak dekat dengan orang tersebut. Spontan gadis itu menengadah dan seketika pupilnya melebar.
Gallendra.
Pantas saja hidungnya sempat menghirup aroma woody saat bertubrukan tadi. Aroma tubuh yang sangat Arum rindukan.
Tapi, kerinduan itu tampaknya hanya akan Arum simpan rapat-rapat karena saat ini, tatapan tajam Gallend membuatnya menciut gelisah.
*
Arum menghela napas. Entah sudah yang keberapa kali dari sejak ia dan Gallend duduk di ruang tamu yang tidak terlalu besar, berada tepat di depan kamar yang tadi Arum tiduri.
Masih tidak habis pikir, Arum merutuki dirinya sendiri dalam hati. Ia benar-benar ceroboh bisa ketiduran saat tengah menunggu Gallend di teras depan kontrakannya, yang alamatnya ia dapat dari Arkana tiga hari lalu.
Yah, setelah berpikir berulang kali dengan menanyakan saran sana-sini pada Rumi, Padma, dan Guntoro-yang tentu saja berakhir mengomeli Arum, Arum berniat mengunjungi Gallendra ke rumahnya sekarang. Seakan bara semangatnya di awal lenyap, Arum terus ragu mengetuk pintu begitu tiba, Tapi, saat ia sudah mengumpulkan beranian mengetuk, Gallend ternyata tak di rumah. Jadi Arum putuskan duduk menunggu di teras depan. Tapi sialnya, dia malah ngantuk dan berakhir tidur.
Masalahnya.. bagaimana bisa ia ada di kamar Gallendra dan tampaknya semalam tidur di sana? Gallend yang mengangkatnya? Semoga saja. Semoga bukan makhluk astral benaran yang membawa Arum ke kamar Gallend.
"Kabar kamu.."
Arum tersentak berkat suara Gallend.
"gimana, Rum?" lelaki itu lanjut bertanya. Tapi, Arum hanya termangu. Bingung harus mulai dari mana untuk bicara.
"Ba-baik, Mas." cicitnya kemudian. Gallend mengangguk pelan. Kedua tangan Arum di atas paha memilin-milin ujung kemeja birunya sendiri dan bertanya, "Mas Gallend, gi-gimana?"
Dari cerita Arkana kemarin, sebenarnya Arum sudah tahu seperti apa keadaan Gallendra sekarang. Tadi, sejenak Arum miris melihat bagaimana Gallend saat ini. Bukan karena di mana ia menetap, atau karena hanya membuka usaha ekspedisi kecil-kecilan alih-alih memiliki event organizer sebesar Mahameru Production dulu. Arum sedih, karena melihat Gallend menjadi lebih kurus dari saat tiga bulan lalu. Penampilan laki-laki itu berubah. Walau pakaiannya tetap rapi, tapi rahangnya dipenuhi sedikit jambang dan kumis tipis. Berbeda dari Gallend yang biasanya tampil maskulin.
"Seperti yang kamu lihat." Gallend menjawab santai, membuat Arum tersenyum canggung.
"Kamu, kok, bisa ke sini? Nyasar?"
Sontak, Arum bergeleng kuat. "A-Arkan kasih aku alamat rumah ini."
"Dia suruh kamu temui aku?"
Arum tidak sanggup membantah, karena kata-kata itu benar adanya. Beberapa detik terlewati lagi dalam hening. Sampai suara Gallend kembali terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Precious Stage
RomanceBagi Arum, Gallendra adalah buaya buntung berwujud manusia! Dia pria hidung belang yang pernah Arum temui di sepanjang sejarah hidupnya. Dalam sehari, Arum bisa memergoki Gallend bermesraan ratusan kali dengan cewek beda di mana saja. Dan kapan saja...