[Stage 25] Tembok Besar

10.3K 1.1K 12
                                    

Suara merdu khas milik Raisa— yang biasanya selalu tidak bosan Arum dengar— justru menjadi irama yang ingin sekali Arum hentikan sekarang. Bukan, bukan karena ia jera mendengarkan lagu baru dari penyanyi favoritnya. Tapi, Arum sungguh ingin turun dari mobil ini sekarang juga. Berada satu kendaraan dengan Bara yang kini sibuk memfokuskan pandangannya ke jalanan padat di depan, bukan sesuatu yang baik.

Gadis itu memejamkan mata. Dalam hati merutuki dirinya berkali-kali karena sudah pasrah membiarkan dirinya diantar pulang oleh Bara. Hari ini, Arum pulang lebih awal dari kantor karena dera sakit yang teramat sangat di perut. Tamu bulanannya datang, hari pertama, dan sebagai salah satu pengidap penyakit nyeri haid yang parah, Arum yakin ia tidak bisa bekerja penuh hari ini.

Sialnya, ketika meminta izin pulang pada Paranita, ada Bara di ruangannya. Lelaki itu menawarkan diri mengantar Arum tepat di hadapan Paranita. Meski Arum berusaha menolak sewajarnya, tapi Bara punya alasan kuat yang, menurut Arum, akan aneh kedengarannya bila ia harus menolak lagi. Terlebih Paranita mendengarkan percakapan dan ikut-ikutan menyarankan Arum agar pulang bersama Bara..

Sejujurnya, Arum pun tidak mengerti mengapa ia harus menghindari Bara sedemikian keras. Toh, Bara hanya menunjukkan sikap baik sebagai atasan. Apakah sikapnya ini dilandaskan karena hubungannya dengan Gallend? Tapi, kenapa harus? Ikatan di antara mereka hanya sebuah sandiwara.

Lalu?

Entahlah..

Arum pikir, dia hanya tidak nyaman dengan perasaan bersalah yang kerap datang tiap kali dirinya berdekatan dengan Bara. Lebih-lebih, Arum merasa belakangan ini Bara lebih sering mengajaknya mengobrol—dengan banyak objek cerita—lebih dari biasanya.

Semua terjadi begitu saja setelah Arum menjalin hubungan pura-pura dengan Gallendra. Mungkin berawal dari rasa takut bila orang-orang akan keheranan melihat kedekatan Arum dengan laki-laki lain sementara di saat yang sama, Arum justru dikenali sebagai kekasih Gallendra. Parahnya, entah sejak kapan ketakutan itu digantikan oleh rasa gelisah bila Gallend sampai mengetahuinya. Tidak masuk akal? Memang.

Arum membuka pejaman matanya tepat ketika lagu berakhir. Gadis itu menelan ludah, berusaha keras agar tidak terlihat gugup. Ia menoleh pada Bara, mencoba mengajaknya basa-basi agar Arum tidak di cap sebagai bawahan yang tidak tahu terima kasih karena sudah ditolong, tapi malah mendiamkan sang penolong terus-terusan dalam kebisuan.

"Dokumen apa yang ketinggalan, Mas?" Arum bertanya, mencoba mencairkan hening yang menyelimuti sejak belasan menit tadi. Bara menoleh sesaat sebelum menatap ke jalan raya lagi.

"MoU PT. Vlademierz [1]." Bara menyengir. Suaranya tanpa beban, seolah sedang bercerita pada seorang teman lama. Mungkin ingin membuat kesan santai dalam percakapan mereka. "Bisa-bisanya aku ketinggalan dokumen itu, Rum. Padahal tadi pagi udah kusiapin di atas meja pas lagi sarapan. Eh, malah lupa ke-ambil. Bu Paranita mau lihat dokumennya hari ini. Jadi, ya, mau enggak mau harus balik."

Arum ber-oh singkat. Melihat reaksi Bara yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan membahas perihal lain, gadis itu menundukkan kepala. Bingung juga mencari topik apa lagi. Lagipula, perutnya masih terasa nyeri saat ini. Sebenarnya ia enggan mengobrol, tapi bagaimana pun Arum tak ingin kehilangan sopan santun.

Menghela napas tanpa suara, Arum pandangi gawai yang dipegangnya di tangan kanan. Layar benda itu tidak memperlihatkan satu pun pesan masuk dari Gallend. Tadi, Arum sempat memberitahu Gallend bahwa dirinya pulang lebih awal sehingga lelaki itu tak payah menjemput. Sudah satu jam menunggu, belum ada balasan. Bahkan pria itu belum juga membaca pesannya.

"Sudah sampai." Suara Bara membuat Arum terkesiap. Gadis itu menoleh cepat menghadap Bara dan saat tersadar, kepalanya berputar ke arah sebaliknya. Arum meringis, mendapati mobil Bara sudah terparkir di dekat pagar rumah Arum sendiri.

Precious StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang