Ada yang tidak beres pada dirinya, Arum yakin itu.
Semula, selama satu minggu terakhir, ia mengira dirinya mengidap penyakit tertentu. Ia panik sampai insomnia beberapa hari, hingga akhirnya memutuskan berbicara pada Rumi untuk meringankan beban pikiran.
"Mi, kenapa ya, belakangan hari ini jantung aku suka debar kuat banget? Kencang gitu. Mendadak lagi. Ini penyakit jantung bukan, sih? Aku takut, Mi. Apa aku ke dokter aja, ya? Aku khawatir kalau sampai terlambat berobat."
Bola mata Rumi membeliak kaget. " Tiap kapan kambuhnya, Rum? Apa tiap kamu habis olahraga berat?" tanyanya, dengan raut kelihatan cemas.
"Tiap dekat Mas Gallend." Arum baru ingin melanjutkan penjelasan, tapi niatnya tertahan saat mendengar Rumi tergelak memegangi perut.
"Kok ketawa, sih? Ini kayaknya gara-gara Mas Gallend suka usil jadi aku darah tinggi, nih. Efek ke jantung jadinya." Arum lanjut bercerita. Sementara, Rumi memberikan respon gelengan kepala berkali-kali.
"Astaghfirullah, Aruuum. Kamu emang kena penyakit, tuh." Kalimat Rumi memang berbanding terbalik dari gurat wajahnya yang menggariskan senyum jahil, namun tetap saja, hati Arum ketar-ketir mendengar perkataan sahabatnya itu.
"Yang bener, Mi?" tanya Arum, takut.
Rumi mengangguk-angguk kuat, hingga Arum menduga kepalanya bisa saja lepas dari batang lehernya. "Iya! Penyakit bucin! Bukti Cinta sama Mas Gallend, tuh!"
Arum terperangah, menatap Rumi yang sibuk menaik-turunkan alis dengan senyum sengaja menggoda. "Cinta banget, ya, Rum, sama Mas Gallend? Sampai mau copot gitu jantungnya. Uluuh-uluuh. Itu, mah, enggak usah berobat, Rum. Minta dicium aja, pasti sembuh."
Helaan napas kasar Arum melambatkan langkah Gallendra yang tengah berjalan menuju gadisnya. Gadis pura-puranya-lebih tepat dikatakan demikian. Dibawah cahaya lampu taman yang ukurannya dua kali tinggi badan Arum, gadis yang malam ini tampil dalam balutan dress sepanjang mata kaki, berwarna paduan hitam dan abu-abu dengan payet berbentuk mutiara putih sebagai hiasan di bagian roknya, itu tampak murung. Menghadirkan setitik cemas yang segera memenuhi dada Gallend hingga lelaki itu mempercepat langkahnya kemudian.
"Maaf, ya. Aku keasyikan ngobrol." Kening Gallend berkerut samar saat mendapati Arum tersentak ketika bahunya ia sentuh. Arum seperti berada dalam dunia lamunannya sendiri hingga suasana meriah pesta pernikahan Rifki-teman Gallend- yang tengah diisi pertunjukan musik tidak cukup mampu menyorot atensinya.
Tersenyum merasa bersalah sekali lagi, Gallendra menatap Arum khawatir. "Maaf, ya. Aku suka lupa diri kalau udah ketemu teman sekolah." akunya jujur. "Kamu lapar? Kita makan, yuk?"
Arum bergeleng pelan dan menggembungkan pipi sesaat. "Belum lapar."
Gallend mengangguk. Satu telapak tangannya refleks mengusap kepala Arum dengan lembut. Secepat kilat, gadis itu merasakan keanehan dalam jantungnya. Lagi.
Debaran pelan, disusul perut yang terasa mulas. Ini reaksi tubuh yang sama pada diri Arum selama seminggu belakangan, tepatnya setelah Gallend mengoleskan obat dan merekatkan plester pada luka di kakinya tempo hari.
Arum tak pernah memberitahu Gallendra tentang apa yang tubuhnya rasakan, karena ia tidak mau lelaki itu berpikiran sama seperti Rumi.
Toh, hubungan mereka hanya sementara.
"Sebentar lagi aja kita makannya, ya. Mau aku ambilin minum dulu? Kamu mau apa?"
Kembali, Arum bergeleng. "Emm, Mas.."
Gallend menoleh.
"Aku mau ke toilet."
"Mau ditemani?" Secepat pertanyaan itu terlontar, lengan kiri Gallendra ditepuki oleh Arum. Lelaki itu melotot. Dengan wajah dramatis, Gallend mengusap-usap bagian kulitnya yang baru saja dijadikan korban kejahatan asusila oleh Arum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Precious Stage
RomanceBagi Arum, Gallendra adalah buaya buntung berwujud manusia! Dia pria hidung belang yang pernah Arum temui di sepanjang sejarah hidupnya. Dalam sehari, Arum bisa memergoki Gallend bermesraan ratusan kali dengan cewek beda di mana saja. Dan kapan saja...