"Coba berdiri tegak."
Arum yang sudah lebih dari sepuluh kali menggigit bibirnya sendiri, menoleh ke sumber suara. Gallendra baru saja berbicara padanya?
Bingung, gadis itu menelengkan kepala sebagai tanda tanya. Seolah mengerti, Gallend tersenyum tipis.
Harus Arum akui, ketenangan laki-laki itu yang terus dia pertahankan sejak empat puluh menit lalu saat lift mulai berhenti, sedikit banyak menulari Arum, membuatnya jadi bisa memikirkan jalan keluar dengan baik. Saat genting begini, panik hanya akan jadi masalah baru.
Tidak. Cukup kekasih Gallendra saja yang memperkeruh suasana. Sejak tadi, gadis berpakaian seksi itu senantiasa mengomel dan bergerak panik ke sana ke mari, meminta Gallend mencari jalan keluar secepatnya, bahkan sempat memaki orang teknisi-yang akhirnya berhasil dihubungi Gallendra melalui tombol intercom sepuluh menit lalu, namun tidak kunjung muncul juga.
"Terjebak di ruangan sempit dan tertutup begini, sebaiknya tetap tenang, Mbak. Supaya oksigen di sekitar kita enggak berkurang karena panik. Jadi, coba posisikan tubuh dengan tegak, putar bahu ke belakang, dan busungkan dada ke depan. Lalu, mulai bernapas perlahan-lahan. Ayo coba."
"Saya enggak panik, Mas." Justru pacar Anda yang seharusnya di putar tombol 'reset' agar bisa berhenti bergerak. Tentu saja Arum tetap menjawab sopan, bagaimana pun Gallendra atasannya. Ia juga tahu Gallend bermaksud baik.
Sebenarnya Gallend juga sudah meminta sang kekasih tetap tenang sedari tadi, tapi hanya digubris beberapa menit. Sekarang, gadis itu bahkan sedang memandangi Arum dengan picingan tajam, tampak tidak suka Gallend memberi atensinya pada gadis selain dia.
"Tapi, Mbak gelisah, kan?" Ucapan Gallend tepat sasaran. Gallend menatapnya, membuat Arum tergugu. Entah kenapa, ia tidak menangkap tanda-tanda pria itu sengaja mengajaknya bicara untuk mencari kesempatan menggodainya. Karena jika iya, Demi Tuhan, mereka sedang berada di antara hidup dan mati.
"O-oh, baik." ujar Arum, setelah mengangguk. "Makasih, Mas."
Gallend mengangguk, tersenyum lagi. Sembari berusaha mengikuti semua petunjuk Gallendra tadi, Arum bisa melihat Gallend kini berbicara pada kekasihnya melalui ujung mata.
"Kamu ngapain jadi perhatian sama cewek itu?"
Helaan napas Gallend terdengar. "Irish, jangan mulai."
"Kamu yang mulai!"
Arum-yang merasa jauh lebih tenang-melirik ke arah sepasang kekasih itu. Dalam hati, ia memohon pada Tuhan agar tidak membiarkan dirinya terjebak dalam drama percintaan di keadaan darurat begini.
"Kalian saling kenal?" nada suara sarat tuduhan itu, membuat Arum melihat pada gadis yang baru ia ketahui bernama Irish.
Sebagai pegawai hotel yang tetap harus mementingkan tata krama pada para tamu, Arum baru akan menjawab dengan sopan, tetapi Gallend mengambil perannya lebih dulu.
"Enggak pernah dan enggak ada maksud apa-apa selain rasa ingin membantu yang aku lakukan, Rish! Jangan ngomong lagi kalau kamu enggak mau mati konyol di sini."
"Kamu nyumpahi aku?" suara Irish meninggi. Arum meliriknya takut-takut sembari berdiri semakin ke sudut.
Irish bergerak menjauhi Gallendra yang sejak tadi bahunya dijadikan tempat bergelayut manja. Untung lampu yang semula mati selama lima belas menit, mulai menyala lagi, sehingga Arum bisa melihat keadaan di sekitarnya lebih baik.
Meski terkesan jahat, tapi penting bagi Arum untuk terus mewaspadai Gallend. Agar tidak terjadi kegiatan 'bercocok tanam' antara Gallend dan kekasihnya di saat lampu mati begini. Arum sering dengar kata itu dari kakaknya, dan meski tidak tahu arti, tapi ia yakin itu pasti bagian dari kemesuman.
Atau, atau.. mungkinkah Gallend tiba-tiba hilang akal dan menerjangnya juga?
Sesaat, Arum merasa dirinya begitu jahat. Tapi, gelar Gallendra di benaknya memang tak pernah jauh-jauh dari selangkangan.
"Demi Tuhan, Irisha." Suara Gallend sarat tekanan, sampai Arum merasa bulu kuduknya berdiri. Gallend lebih menakutkan dari burung hantu yang pernah dilihatnya dalam insiden memergoki Gallendra dan Paranita dulu.
Tuhan, tolong. Jangan sampai ada telenovela di ruang sempit-sempit begini.
"AKU KESAL SAMA KAMU! JANGAN PEGANG-PEGANG!" Arum ikut-ikutan tersentak ketika Irish menyentak tangan Gallend yang berusaha meraih lengannya. Irish bergerak mendekati tombol lift, memalingkan wajah dari Gallend yang kini mengusap kasar wajahnya sendiri.
Melihat itu, Arum jadi mengasihani Gallend. Siapa yang tidak kesal menghadapi kekasih cemburuan yang tidak bisa memerhatikan kondisi tempat dan suasana?
Apa semua pacar Gallend begitu?
Lama Arum termenung untuk memikirkan jawaban yang timbul di benaknya sendiri. Saat sadar, ia bergeleng kuat. Kenapa dirinya harus repot-repot mencari jawaban?
Dan kenapa juga, para teknisi itu lama sekaliii? Bisa-bisa Arum keburu mati dibunuh sama Irish yang kini melayangkannya tatapan setajam belati. Duuh.
Hari ini aku post telat banget ya. Riweuh banget dari tadi pagi akutuh /digeplak
Ok gengs, semoga suka, ya. Jangan lupa tinggalkan jejak juga😊 Sayang kalian, deh. Wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Precious Stage
RomanceBagi Arum, Gallendra adalah buaya buntung berwujud manusia! Dia pria hidung belang yang pernah Arum temui di sepanjang sejarah hidupnya. Dalam sehari, Arum bisa memergoki Gallend bermesraan ratusan kali dengan cewek beda di mana saja. Dan kapan saja...