[Stage 11] Bara

12.6K 1.3K 19
                                    

"Itu, tuh. Si Pololo!"

Arum mengernyit saat mendengar kata itu terucap dari Rumi. Dialihkannya pandangan dari penguin besar yang tak ada guntur tak ada badai, tadi pagi dikirimkan dalam bentuk paket oleh Gallend untuknya, jelas-jelas tertulis namanya. Parahnya lagi, diantarkan ke alamat D'Amore langsung oleh sang kurir. Arum ingat betapa susah ia menjelaskan tentang tak adanya hubungan khusus, seperti berpacaran, di antaranya dan Gallend kepada seluruh pegawai D'Amore yang riuh mempertanyakan kekagetan mereka.

"Pororo."

Delikan mata Arum membuat Rumi segera meralat. "Iya, Porolo."

"Poloro—eh," Arum bergeleng. Saking kesalnya dengan Rumi yang sudah ratusan kali salah pengucapan dalam menyebut nama boneka kesayanganya, Arum jadi ikut-ikutan salah kata. "Pororo, Rumiii."

Rumi menyengir, tapi tidak mengubah kedua alisnya bertaut memandangi Arum lagi. "Pokoknya, si Roro-Roro itu. Enggak mungkin dia bisa dikirimin ke kamu kalau enggak ada hubungan spesial antara kamu dan Mas Gallend."

"Kalau ada pun kenapa, Mi?" Padma muncul dari balik pintu. Tangannya menenteng kotak berukuran sedang dan meletakkannya di ruang sebelah kanan kubikel Arum yang biasa dijadikan tempat penyimpanan pernak-pernik event. Kadang para event coordinator yang bertugas menghias dekor menjadikannya markas berkumpul untuk membuat desain-desain hiasan acara. Setelahnya, ia duduk di samping Rumi.

"Ya kalau ada, aku seneng, lah, Pad. Wong iku [1] artinya, kawan kita enggak jomlo lagi, toh? Dapetnya Mas Gallend pula. Pengusaha sukses di Yogyakarta." Rumi menekan kalimat terakhirnya, nada bangganya membuat Arum mengarahkan bola mata ke atas.

Gallend memang sudah tidak muncul lagi di dekatnya, tapi kenapa namanya ada di mana-mana?

"Ih! Beneran enggak ada apa-apa tau." Gerutu Arum, mengerucutkan bibir. Kenapa teman-temannya jadi pada menyebalkan, sih?

Sepertinya sejak di mana Arum berkata jujur pernah tak sengaja berinteraksi dengan Gallend gara-gara mabuk bersama dan berakhir memuntahi baju pria itu, di malam tahun baru—tentu saja tanpa menceritakan kisah bermalam di kamar hotel—keduanya jadi terus mencecar Arum dengan analisis praduga bahwa Gallend dan dirinya memang punya hubungan khusus.

"Kemarin itu aku enggak sengaja bahas boneka pororo."

"Kok bisa?" tanya Padma.

"Ya, kan, aku sempat muntah di bajunya Mas Gallend. Aku niatnya mau ganti baju itu, wong harganya mahal. Aku jadi enggak enak. Terus aku cuma curhat, gajiku pasti langsung habis kalau ganti bajunya. Makanya, enggak bisa beli Pororo edisi baru yang keluar bulan ini."

"Nah!" Padma menjentikkan jari. "Itu malah lebih aneh, Rum! Ngapain coba, Mas Gallend kirim barang buat kamu? Kan, yang berhutang ganti rugi bukannya dia, tapi kamu." Mengusap-usap dagu dengan tampang ala detektif yang kerumitan memecahkan sebuah kasus, Padma menciptakan praduga lain yang sukses melebarkan mata Arum. Sang tersangka yang masih berstatus di sidang. "Aku makin yakin ada apa-apa, nih. Jangan-jangan.." Padma menutup mulutnya sendiri dengan mata membelalak. "Mas Gallend suka sama kamu Rum?" tanyanya histeris. "Iya, kan, Mi?" lalu menoleh pada Rumi yang tersentak begitu dengar suara Padma.

"Sebentar Pad, aku masih mikir. Kenapa Arum harus bilangnya Pororo? Kenapa enggak kalung edisi baru dari Tiffany and Co?" Rumi mengaduh karena Padma memukul pelan bahunya.

"Itu maumu, Mi!"

Kekesalan mulai berganti dengan tawa kecil di bibir Arum melihat kedua temannya.

"Tapi, gue setuju sama Padma. Mas Gallend kayaknya suka, deh, sama kamu, Rum."

Serasa ada petir menyambar di atas kepala Arum.

Precious StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang