[Stage 7|C] Janji

17.3K 1.6K 5
                                    

Sebuah pisau terlempar ke arah Gallendra yang baru keluar dari kamar mandi, hingga kakinya spontan mundur selangkah karena terkejut. Pisau tidak kasat mata itu terhunus dari tatapan Arum yang berdiri setengah meter di hadapannya.

Untuk beberapa detik Gallend masih diliputi kekagetan, dan Arum masih menatapinya dengan kemarahan menyala di kedua manik mata.

Ketika Gallend berhasil berdeham untuk menenangkan diri, bibirnya terbuka, siap bertanya mengapa Arum harus berdiri sedekat ini dengan pintu kamar mandi. Namun, belum satu kata pun terucap, lelaki itu dikejutkan sekian kali oleh sebuah tamparan kuat di pipi kiri.

Gallend tertegun.

"Mas Gallend puas?!" bentakan Arum membuat Gallend merasa dirinya adalah lelaki bejat yang sudah melakukan perbuatan paling berdosa pada seorang wanita.

"Mas Gallend puas atas apa yang udah Mas lakuin ke saya?!" kehilangan kendali, Arum berteriak.

"Arum-"

"Mas benar-benar jahat!"

Gallend tidak berusaha menepis pukulan-pukulan Arum yang dilayangkan berkali-kali di dadanya. Tenaga perempuan itu tidak menimbulkan rasa sakit yang hebat, tapi tangisannya lebih menakutkan bagi Gallendra.

Tangisan yang sama.. seperti yang pernah Ibunya perlihatkan tepat di hadapannya dulu. Bayang-bayang mengerikan itu menjadi senjata tajam yang melumpuhkan saraf otak Gallend sekarang. Dia tidak mampu berpikir. Hanya berdiri diam, bahkan hingga pukulan Arum melemah dan perempuan itu mundur beberapa langkah ke belakang.

"Saya enggak nyangka.." Arum menggeleng lemah, luka di matanya kentara terlihat. Arum menarik napas susah payah di sela isakan.

Dan.. mengapa Gallendra merasa begitu berat mendengar tangis perempuan itu?

"Saya enggak nyangka Mas akan memperkosa saya."

Jantung Gallend dihantam sesuatu yang besar. Perasaan bersalahnya tumbuh lebih hebat.

"Mas Gallend benci sama saya?" Suara Arum melirih. "A-Apa ini gara-gara saya pernah nimpuk kepala Mas dulu?" Arum menghapus sekilas air matanya yang basah dengan jemari tangan. "tapi kan, waktu itu saya cuma pukul kepala Mas sedikit aja. Kenapa pembalasan Mas Gallend sekarang lebih kejam? Apa yang harus saya lakuin sekarang, Mas? APA?!"

Suara Arum benar-benar seperti sayatan benda tajam pada nadi. Mempertegas bahwa Gallend adalah pria terbejat yang sudah merenggut kesucian seorang wanita.

Perempuan itu menutup wajahnya sendiri dengan kedua telapak tangan. Jari-jari tangannya bergetar.

"Arum, sebentar.." berusaha keras menguasai kesadaran dan menekan kuat-kuat rasa takut di hati, Gallendra bicara dengan suara pelan. "Dengerin saya dulu, ya? Tolong tenang dulu."

Di sela isak tangis yang belum mereda, Arum menatap Gallend kembali. Tatapannya masih bengis.

"Jujur aja.. saya enggak ingat apa pun yang terjadi semalam. Saya mabuk parah. Dan saya berani bersumpah kalau saya enggak pernah punya niat menjebak kamu, Rum. Sungguh!" ujar Gallend, menggeleng beberapa kali untuk mempertegas pengakuannya. "Apalagi hanya karena balas dendam akibat insiden di lift dulu. Saya enggak sepicik itu."

"Te-terus.. semalam kita ngapain?"

"Itu juga yang mau saya tanya ke kamu. Kamu ingat sesuatu?"

Arum tertegun beberapa detik, tapi melihat dia menggeleng lemah, Gallend menghela napasnya.

"Saya cuma ingat, saya muntah di baju Mas Gallend."

"Itu aja?"

Arum mengangguk sebelum keningnya mengerut dalam. "Tapi waktu itu, kan, kita ada di rooftop resto. Kenapa sekarang saya ada di kamar ini?"

Gallend menyugar rambut sembari berjalan mendekati jendela. Gerimis yang beberapa saat lalu datang membasahi bumi kini sepenuhnya berganti hujan. Menghantarkan aura sendu untuk kedua manusia di ruangan kamar yang luas itu.

"Saya masih belum ingat.." Gallendra menggigit bibir. Keningnya berkerut. Ia berusaha menggali ingatan, namun tidak berhasil.

"tapi, sepertinya saya yang bawa kamu ke sini, Rum." Gallend membalikkan tubuh untuk menghadap Arum lagi. "Untuk kelancangan itu saya minta maaf. Dan apa pun yang terjadi semalam, saya juga sungguh-sungguh minta maaf sama kamu." Lanjutnya, tulue.

Gallend memijit pelipisnya yang berkerut sejenak. "Saya tahu, kamu mungkin enggak akan semudah itu memaafkan. Tapi sumpah demi Tuhan, saya enggak pernah punya niat memper-" kata-kata Gallend tersendat. Dia tidak sanggup menyambung ucapannya sendiri, maka dialihkannya dengan kata-kata lain. "-melakukan hal bejat seperti apa yang kamu bayangkan."

"Kalau.." Gallend menelan ludah, saat itu matanya menatap lurus Arum yang sangat kentara cemas. Ucapannya kemudian bernada tegas, berusaha meyakinkan Arum bahwa dirinya tidak berbohong.

"Kalau pun memang saya sudah berbuat yang tidak sepantasnya ke kamu semalam.." Gallend mengangguk yakin dalam satu gerakan. "Saya janji akan bertanggung jawab. Kamu bisa pegang kata-kata saya, Arum. Bahkan jika kamu ingin melaporkan saya ke polisi jika semua itu benar terjadi, saya akan terima."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Precious StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang