"Kamu yakin?"
Mata membeliak Arum jadi pemandangan pertama kali yang Gallend dapatkan kala menemui perempuan itu lagi di depan pintu kantornya di D'Amore.
Usai mengajak Gallend bersekutu untuk melupakan insiden kamar hotel, Arum secepat kilat mengacir pergi-kembali masuk ke resto tanpa mengizinkan Gallend menyampaikan keberatannya lagi.
Dan sekarang, perempuan itu menghela napas gusar. "Mas kok ngintilin saya terus, sih?" tanyanya sebal.
Gallend memajukan langkah yang sontak diikuti Arum dengan bergerak mundur. Tapi mundurnya tak berlanjut karena Gallend sudah lebih dulu menangkap lengan kanannya-seolah tahu Arum berniat melarikan diri.
"Saya belum selesai mendiskusikan masalah kita, Rum." Jelas Gallend setelah melepaskan pegangan.
Arum mengarahkan bola mata ke atas. "Kan, tadi pagi udah."
Gallend menggeleng. "Saya masih belum setuju sepenuhnya dengan usulan kamu."
"Ya terus? Mas maunya kita berdua gimana? Langsung nikah aja gitu?"
Memandangi Arum dengan sebelah alis terangkat, Gallendra kehilangan kata-kata untuk menjawab. Pertanyaan perempuan itu sungguh di luar dugaan. Belum sempat dirinya bicara, Arum sudah bergidik dengan tampang ngeri.
"Hiii! Saya enggak mau, Mas! Mas Gallend bukan tipe cowok saya."
Dan jawaban yang dilontarkan sepenuh hati itu berhasil menciptakan keterperangahan. Dia tidak terima ucapan Arum, sungguh.
"Memangnya kenapa? Kenapa dengan saya?" tanya Gallend bertubi-tubi, melayangkan sorot mata tak percaya saat memandangi Arum. "Saya tampan, baik, kaya, pintar, ramah. Kurang apa coba?"
Pembelaan diri Gallend tak berarti hanya dengan sebuah kalimat menimpal dari bibir Arum kemudian.
"Ada lagi. Mas Gallend mesum."
"What?" Kali ini, Gallend tak segan-segan menutupi ketidaksenangannya.
"Terus juga.." Arum menghitung dengan jari. "Mas playboy, mata keranjang, cabul-"
"Sto-Stop! Stop Arum!" kesal, lelaki itu memelotot dan menyilangkan tangan di depan dada. "Kamu kenapa jahat banget, sih, sama saya?"
"Saya cuma ngomong kebenaran, Mas." elak Arum. "Yowis. Jangan bingung lagi. Yakini aja, kalau kemarin kita cuma enggak sengaja tidur di ruangan yang sama. Hanya tidur aja." Arum menekan tiga kata terakhir dalam kalimatnya.
"Oke? Jadi udah, tolong jangan dibahas lagi, Mas. Jujur, saya sendiri butuh usaha keras buat seyakin ini. Tapi, semoga keputusan ini benar. Kita memang enggak punya cara lain selain berpikir postif dulu sekarang."
"Tapi, kalau.." Gallend menelan ludah susah payah. Dirinya sendiri bahkan tak sanggup untuk melanjutkan. "kalau malam itu kita memang.. melakukannya, gimana?"
Arum menarik napas panjang untuk menenangkan diri. "Lakukan seperti apa yang Mas janjikan dulu ke saya. Dan, saya enggak akan nolak. Karena kita berdua sama-sama harus bertanggung jawab atas apa pun yang udah kita lakukan?" ucapnya.
Butuh semenit bagi Gallend untuk berpikir hingga akhirnya mengangguk. "Oke. Saya setuju. Saya enggak akan bahas lagi. Tapi... kalau selama beberapa waktu ke depan nanti kamu merasa ada perubahan yang aneh sama diri kamu sendiri, tolong kasih tau saya, ya? Kamu harus bilang. Mengerti, kan?"
Pada akhirnya, Gallend mampu mengulum senyum setelah melihat Arum mengangguk-angguk.
"Sekali lagi saya minta maaf, ya, Rum." Gallendra bicara lagi, usai puluhan detik terlewati dalam hening.
"Saya juga minta maaf, Mas."
Satu alis Gallend terangkat bingung. "Kamu enggak salah. Saya yang udah bawa kamu ke kamar saya."
"Saya udah muntah di baju Mas Gallend. Maaf." Jawab Arum lagi yang langsung ditanggapi Gallend dengan ber-oh pendek.
"It's okay. Saya enggak apa-apa, kok."
"Sayanya yang kenapa-napa, Mas."
Jika sebelumnya hanya satu, kini kedua alis Gallend yang bertaut memandangi Arum.
"Maksudnya?"
"Baju Mas Gallend pasti mahal banget buat diganti." Saat di kamar hotel pagi itu, Arum sempat melihat Gallend memasukkan bajunya yang sudah ternoda dengan cairan perut Arum ke tong sampah. Menandakan jelas bahwa Gallend bahkan tak berminat menggunakan pakaian itu lagi.
"Karena saya harus ganti rugi baju Mas Gallend nanti," Arum menunda perkataannya untuk menciptakan gelengan kepala sesaat serta helaan napas yang terasa berat. Lalu ia berkata dengan wajah seolah siap mengeluarkan tumpahan air mata. "saya enggak bisa beli boneka pororo edisi baru bulan ini. Baju Mas Gallend 'kan merk mahal. Gaji sebulan saya pasti langsung ludes kalau beli."
Tercengang, Gallend akhirnya bertanya tidak mengerti. "Po-Poro a.. apa?"
Sebelum Arum sempat menjawab, sebuah suara dari belakangnya menginterupsi. Membuat keduanya langsung menoleh.
"Arum. Kamu di sini ternyata. Saya cari kamu dari tadi, lho." Bara muncul dengan sebuah senyum lebar sembari berjalan menghampiri Arum. Tapi, langkahnya tertahan begitu netranya bersirobok dengan netra lelaki lain yang sedang bersama Arum. "Oh, Pak Gallend? Anda di sini?"
"Iya." Jawab Gallend singkat. Sedikit kesal ada orang lain yang mengganggu pembicaraannya.
"Mau ketemu Bu Paranita?"
"Enggak," Gallend menggeleng, lalu melirik Arum sesaat untuk berkata, "Saya ada perlu dengan Arum sebentar."
Kemudian tatapannya balik membalas ekspresi bingung Bara. "Kalau gitu, saya permisi dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Precious Stage
RomanceBagi Arum, Gallendra adalah buaya buntung berwujud manusia! Dia pria hidung belang yang pernah Arum temui di sepanjang sejarah hidupnya. Dalam sehari, Arum bisa memergoki Gallend bermesraan ratusan kali dengan cewek beda di mana saja. Dan kapan saja...