[Stage 10|B] Bungkusan Parsel

12.3K 1.3K 15
                                    

Tatapan tajam Dariel terus berganti bolak-balik memandangi Gallend dan sebuah benda berbusa yang baru saja diletakkan oleh pengantar paket di sofa ruang kantor Gallend. "Ini apa, Lend?" tanyanya.

Memegangi gawai, Gallend mengetikkan balasan pesan dari anggota tim kreatif terkait proyek event kota yang dipercayakan oleh pemerintah pada EO-nya. "Lo enggak bisa lihat segede gitu?"

"Ck!" Dariel yang seperti pengangguran-padahal pemilik beberapa restoran-berdecak melihat Gallend sama sekali tidak menoleh padanya ketika berbicara.

"Gue juga tau itu boneka! Maksud gue, kenapa lo tiba-tiba pesan boneka bebek seukuran tubuh lo sendiri?" Telunjuknya bergerak naik-turun, menunjuki benda mati berisi dakron dengan kacamata kuning dan topi berbordir huruf 'P' yang bertengger manis di seberang sofa yang didudukinya.

"Penguin." Ralat Gallend.

Dariel mengibaskan satu tangan. "Ya pokoknya jenis burung lah." Matanya memicing saat menatapi Gallend kembali. "Lo enggak tiba-tiba mau menyimpang, kan, Lend?"

Jempol Gallend benar-benar berhenti mengusapi display ponsel. Mengangkat wajah, ia bertanya, "Maksudnya?"

Beberapa menit sahabatnya itu terdiam, keningnya mengernyit seolah sedang memecahkan rahasia teori dunia paralel. "Oh, God!" usai menutupi mulut menganganya, Dariel berjalan mendekati Gallend yang masih bersandar di meja kerja.

Tidak peduli mendapatkan tatapan bengis Gallendra karena tindakan lancangnya memeluki lengan pria itu, Dariel berkata sembari merebahkan kepalanya di bahu Gallend.

"Sabar, ya, Lend. Sebenarnya, lo sahabat yang paling gue sayang, kok. Jadi, tenang aja. Lo punya gue, Virgo sama Hakim yang akan setia nemenin lo setelah lo berubah. Ayo kita obatin sama-sama kelainan lo, ya."

"Kelainan apa, sih, bangsat?!" ketus Gallend, menyentak bahunya kuat-kuat dan mendorong dahi Dariel dengan telapak bawah tangan. Gallend bergidik, menatap horror Dariel yang kurang ajarnya memasang tampang mewek.

Bukannya marah dikasari, ia malah menepuk-nepuk bahu Gallend. "Enggak apa-apa, Lend. Cerita aja ke gue, gue bisa ngertiin lo, kok. Lo pasti tiba-tiba punya kelainan kromosom, kan? Lo berniat operasi ganti kelamin, kan, makanya tiba-tiba aja tertarik beli boneka begini?"

Lima detik berlalu, Dariel spontan menutup kedua telinganya sebelum benar-benar pecah karena teriakan Gallendra kemudian.

"Get outta here now! [1]"

*

Arum bahagia.

Dua minggu tidak melihat wujud Gallendra mendatangkan ketentraman hidup baginya. Kesehariannya yang semula datar namun mendadak amburadul ketika Gallend menyerbu datang, kini balik mencapai ketenangan batin yang luar biasa menakjubkan. Arum sangat bersyukur, tidak perlu repot-repot emosi lagi berhadapan dengan Kang Mesum, Gallendra.

Arum mengempaskan pantat di kursi putar kubikelnya sendiri. Mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk merenggangkan sendi-sendi otot tubuh yang kaku akibat dipaksa bergerak tanpa jeda sejak pagi tadi. Di depan kubikelnya, Rumi merebahkan punggung ke sofa biru, tempat duduk para tamu, sembari mendesah keras.

"Wis edan, yak, e ibue [1]." Gerutunya, memijit-mijit pelipis sendiri.

Arum menyengir di sela rasa lelah yang menyerang tubuh. Keduanya baru saja selesai meeting dengan perwakilan salah satu partai politik di Yogyakarta yang tengah memakai jasa EO di hotel mereka untuk perhelatan ulang tahun komunitas mereka. Berbeda dari sebulanan belakangan yang lebih sering bekerja sama dengan Mahameru Production, kali ini D'Amore Organizer berkolaborasi dengan EO lain yang dipilihkan golongan partai tersebut.

Semula, perundingan menentukan konsep acara dimulai oleh Arum dengan memberikan usulan vendor-vendor dekorasi, dokumentasi, souvenir, hingga katering. Semua berjalan mulus sampai terjadi perdebatan antara dua ibu-ibu. Parahnya, cukup lama mereka saling berperang sengit hanya untuk mempertahankan pendapat mengenai jenis gudeg manakah yang nantinya lebih pantas dijadikan menu makanan utama.

"Apa bedanya, sih, gudeg jogja sama gudeg semarang? Toh, isinya sama-sama nangka, sambal krecek, sama telur pindang." Rumi mengangkat kedua tangan dengan tampang tak percaya.

"Beda, sih. sebenarnya." Usai mengatakannya, Arum terkikik karena Rumi melayangkan pelototan padanya. "Beneran, Mi. Gudeg jogja itu lebih coklat warnanya dan lebih manis dari gudeg semarang. Kalau gudeg semarang itu dominan pedas, makanya aku suka."

Rumi bergeleng, gemas dengan Arum yang seakan tak peka akan ke-frustrasi-an Rumi. "Ya tapi, kan, enggak harus jambak-jambakan juga merekanya, Rum."

Arum mengangguk. "Iya, sih."

"Untung aja dilerai satpam, kalau enggak pasti meja sama kursi resto udah kebolak-balik gara-gara mereka dorong-dorongan. Duh, Gusti! Kurang sajen kayane mereka itu [2]."

Arum terbahak pelan.

"Aduh, udah!" Rumi berhenti memijit-mijit keningnya sendiri. "Perdebatan emak-emak panjangnya kayak episode sinetron india, capek aku. Mending ngomong lain aja."

Arum yang baru saja menyalakan tombol power Mac Mini di atas meja, mengangkat sebelah alis saat sadar tatapan Rumi terlempar padanya kini.

"Opo?"

"Kamu serius enggak ada apa-apa sama Mas Gallend?"

Sesegera nama itu disebut, Arum merasa seluruh bulu kuduknya meremang. "Kok, pertanyaannya itu terus, Mi? Kamu, kok, ya, kalah sama anak SD yang baru dibilangin dua kali aja langsung paham?"

Rumi memutar bola mata. "Habis aku enggak percaya sama jawaban kamu. Mosok kalau enggak ada apa-apa, sekarang bisa ada itu di meja kerjamu? Hah?"

Arum sontak mengarahkan pandangan pada apa yang ditunjuk Rumi, dan meringis. Benda yang terbungkus plastik parsel itu berdiri manis di sudut dinding kubikel.

 Benda yang terbungkus plastik parsel itu berdiri manis di sudut dinding kubikel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


[1] Gila sekali ibu-ibu itu!

[2] Kurang sajen kayaknya.

[3] Keluar dari sini sekarang

Hayoo, siapa yg mau lanjutannya di update malam ini? Kalau mau, klik tombol like dulu yuuk /digamparkarenanodongreaders

Precious StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang