Otak Arum lumpuh untuk berpikir. Kedua kelopak matanya mengerjap lambat dua kali, sebelum akhirnya berakhir membesarkan pupil dengan kedua tangan menekan dada Gallend sekuat tenaga.
"Le.. lep-phas.." Arum merutuki suaranya yang justru terdengar melirih. Jangan sampai Gallend malah menganggapnya menikmati ciuman mereka-yang entah disengaja atau tidak oleh Gallend.
"Mas Gal.. lend! Lep-" bukannya menuruti keinginan Arum, lelaki itu malah membuat sang gadis mengumpat dalam hati ketika kepalanya justru ambruk di bahu kiri Arum. Parahnya, kegelian menyerang gadis itu di saat Gallend semakin membenamkan wajah ke lehernya, membuat bibir Arum mencebik siap menangis.
Ia pun terisak kecil. Tubuh Gallend yang jauh lebih besar memberati tubuhnya, sampai Arum susah bernapas. Tapi si penyebab kekesalan malah tetap berbaring nyaman di atas tubuhnya.
Arum lelah. Sejak tadi ia sudah berusaha berteriak, tapi rasa mual yang beberapa menit lalu sempat dirasakannya sejak berada dalam bar, mendadak menambahkan sensasi pusing luar biasa di kepala.
Dalam kondisi kepala berputar, Arum memicingkan mata ke area rooftop yang lain, berusaha mencari pertolongan dari siapa saja yang berada di tempat itu juga.
Tapi, nihil.
Entah sejak kapan rooftop tidak diisi oleh orang selain Arum dan Gallend. Padahal saat baru datang tadi, seingat gadis itu, ia sempat melihat ada dua orang yang berdiri tidak jauh darinya di dekat pagar pembatas. Sekarang ke mana mereka?
Berusaha keras sekali lagi, akhirnya Arum berhasil membuat tubuh Gallend menggelinding di samping kanannya lalu dengan cepat gadis itu bangkit berdiri. Saat itulah, kepalanya terasa berdenyut dua kali lebih parah dari sebelumnya.
Arum ingin menghampiri Gallend untuk membantunya berdiri juga, tapi langkah gadis itu sejenak terhuyung ke belakang.
Ada apa dengan perut dan kepalanya? Rasanya Arum ingin muntah!
Tapi, Gallend? Dia tidak mungkin meninggalkan pria itu di sini sendirian.
Menekan rasa mual di perut yang menjadi-jadi, Arum memandangi Galendra sebal. Punggung tangan kanannya bergerak cepat mengusapi bibir. Menghapus jejak sentuhan Gallend di sana.
Demi Tuhan, mengapa ciuman pertamanya harus dengan orang yang bukan suami sah?
Arum terisak kecil sambil menatap Gallend bengis. "A-apa.. yang Mas Gallend udah lakuin ke saya?"
Seharusnya Arum berteriak lebih keras lagi, seharusnya ia memancarkan amarah karena salah satu bagian tubuhnya telah Gallend nodai. Tapi, badannya lemas untuk mengeluarkan suara berapi-api. Arum juga tidak mengerti ada apa dengan tubuhnya.
Melihat Gallend yang menelungkup di lantai rooftop, hanya bergerak sedikit mengeluarkan erangan kecil, Arum memandang ke arah lain. Dia menggigit bibir sebelum mengusap wajahnya kasar berkali-kali. Terisak, gadis itu berdoa meminta pengampunan dalam hati.
"Kamu.." Arum tersentak mendengar suara barusan. Dia menoleh cepat, menatap Gallend yang kini tengah berjuang mendudukkan tubuhnya sendiri. "Arum, kan?"
Gallend tertawa kecil tiba-tiba, membuat Arum merinding tanpa sadar dan sontak muncur selangkah. Antisipasi bila Gallend sungguh-sungguh kerasukan. "Kamu si pemukul kepala saya, kan?"
Gadis itu melongo. Tercengang. Kenapa dari sekian pertemuan mereka, hanya memori itu yang Gallend ingat?
"Kamu.. ngapain di sini?" Gallend sudah sepenuhnya bangkit berdiri dengan usaha yang begitu keras. Lelaki itu melangkah mendekatinya, membuat Arum refleks mundur namun langkahnya tertahan saat ia tersentak akibat punggungnya kini sudah menempel di pagar pembatas. Dan, hanya dengan satu kalimat Gallend selanjutnya mampu membuat jantung Arum copot dari rongganya. Karena kata-kata itu seperti sebuah ajakan untuk menuju..
"Kamu pasti mau ikut terjun ke bawah juga, ya? Bersama saya? Iya, kan?"
menuju kematian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Precious Stage
RomanceBagi Arum, Gallendra adalah buaya buntung berwujud manusia! Dia pria hidung belang yang pernah Arum temui di sepanjang sejarah hidupnya. Dalam sehari, Arum bisa memergoki Gallend bermesraan ratusan kali dengan cewek beda di mana saja. Dan kapan saja...