[Stage 26] Egois?

10.1K 1.2K 19
                                    

"Udah sarapan?" Suara Gallendra menjadi penyambut pertama kalinya ketika Arum baru saja membuka pintu mobil bagian depan. Gadis itu duduk di kursi samping kemudi, memasang seatbelt-nya seraya mengangguk dalam diam.

"Nanti pulang jam berapa?" Gallend kembali bertanya beberapa menit melajukan mobilnya keluar dari jalanan kompleks rumah Arum menuju jalan besar.

"Belum tau." Sadar nada bicaranya terdengar tak acuh, Arum mengulum bibir dengan memalingkan wajahnya menatap ke luar jendela. Pengendara sepeda motor yang beberapa kali menyalip di sebelah mobil Gallend saat mereka berhenti di depan lampu merah perempatan jalan, nyatanya lebih mampu menarik perhatian ketimbang lelaki yang mendadak mengantarkannya pergi ke kantor hari ini.

Biasanya, Gallend lebih sering menjemput pulang sesuai permintaan Arum. Karena akan jadi masalah bila orang tuanya, apalagi sang kakak yang gadis itu curigai punya bibit-bibit lambeturah, sampai melihat Gallend mengantar setiap hari.

"Urus event apa hari ini?"

"Banyak." jawab Arum lagi, sembari bersedekap.

Bodoh amatlah bila Gallend kebingungan dengan sikapnya sekarang. Arum bukan tipe yang bisa berekspresi baik-baik saja ketika hatinya merasa sakit luar biasa.

Salah Gallend? Bukan. Arum tahu jelas, bahkan sekali pun Gallend hadir di pesta itu karena sudah kembali berhubungan asmara lagi dengan Lin Zhi, Arum tidak berhak kesal, apalagi marah.

Tidak pantas sekali untuknya.

Tapi, ia bisa apa? Arum terlanjur jatuh pada Gallend. Dia sudah masuk ke perosok muara di mana hanya ada Gallend di sana, sehingga sulit untuknya tidak merasa sedih sekarang.

Lalu kenapa harus bersikap dingin?

Arum juga bingung. Bahkan merutuki dirinya sendiri yang terlalu lancang merasa seolah Gallend adalah miliknya. Karena itu, sejak tadi ia memalingkan wajah agar tidak melihat Gallend sekarang. Mati-matian ia menahan diri untuk tidak menunjukkan raut kesal dan sendunya.

"Ooh, oke." Gallend kembali bersuara, bernada canggung. Hening melingkupi atmosfir di sekitar mereka selama beberapa saat, sampai Gallend kesekian kalinya membuka percakapan.

"Hari ini aku enggak bisa jemput, ya. Maaf."

Arum tertegun, tersenyum getir setelahnya. Ia menoleh pada Gallend, namun tak bereaksi apa pun.

"Aku ada meeting di Semarang, berangkatnya nanti siang dan baru pulang lusa. Jadi, selama dua hari ini enggak apa-apa, kan, kamu pulang pergi sendiri dulu? Atau kamu mau aku kasih supir pribadi? Di kantorku ada yang biasa ngantar-"

"Aku udah biasa bawa kendaraan sendiri, bahkan dari sebelum kita berhubungan. Jadi, Mas Gallend enggak perlu repot-repot."

Arum bisa melihat dengan jelas, raut tidak suka membingkai nyata di wajah Gallendra sekarang. Entah karena Arum memotong perkataannya atau karena arti dari kalimat Arum barusan.

"Maaf, aku cuma khawatir aja." Raut Gallend melunak. Suaranya lembut saat melanjutkan ucapan. "Belakangan ini hujan deras terus sejak pagi. Aku takut kalau kamu bawa motor, bisa tergelincir atau jatuh di  jalan."

"Mas Gallend cukup doakan aku enggak kecelakaan. Enggak perlu kasih supir kantor segal-"

Kali ini, kata-kata Arum yang tak bisa selesai. Semua berkat pengereman mendadak yang Gallend lakukan hingga mobil berhenti dengan mesin masih menyala. Beruntung Gallend menepikan kendaraannya di pinggir jalan.

Arum melempari Gallend tatapan kesal. "Mas!" serunya, satu tangannya memegangi dada. Merasa jantungnya baru saja jatuh ke perut.

"Ma-maaf. Aku kaget." Gallend tidak berbohong, pendar matanya bergerak gelisah seperti orang kebingungan. Sejurus kemudian, matanya menatapi Arum nyalang. "Kamu ngomong apa, sih, tadi? Kenapa bicaranya begitu? Aku enggak suka."

Precious StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang