[Stage 27] Panggung

9.8K 1.1K 22
                                    

"Kamu suka banget susu kotak, ya?"

Arum mengalihkan pandang dari gemerlapnya cahaya lampu gedung-gedung kota yang sempat membuatnya berdecak kagum. Dari balkon apartment Gallend di lantai lima belas, gedung-gedung itu terihat lebih kecil, namun jumlahnya yang banyak dan warna lampu yang berbeda-beda, menuansakan pendar terang menawan yang memanjakan mata.

Sekarang, pendar itu dikalahkan oleh senyuman yang terukir manis dari bibir lelaki di sebelah Arum. Gallend ikut bersandar menghadap pembatas balkon yang kokoh, namun bukannya menatap lanskap indah yang ditawarkan Jogjakarta, matanya menatap lurus pada Arum yang hanya mampu mengerjap kaget karena kedatangannya.

Beruntung, otak gadis itu masih bisa diajak berkoalisi sehingga ia sadar apa yang baru saja Gallend tanyakan barusan. Arum mengangguk sekali.

Karena takut Gallend menangkap semu merah yang bisa saja muncul di permukaan pipinya, Arum mengalihkan wajah, menghadap apa saja selain Gallendra yang kini memangku dagu dengan telapak tangan kanannya sendiri.

"Kenapa?" Gallend kembali bertanya.

"Biar sehat aja."

Dengusan bercampur tawa kecil tertangkap indera pendengaran Arum, membuatnya merengut sebal dengan bibir mengerucut. Ia masih enggan menatap wajah Gallend.

"Rasa mana yang lebih kamu suka? Vanila atau cokelat?"

"Emm," Arum menelengkan kepala, mengetukkan satu telunjuk di dagu. "strawberry." jawabnya kemudian, menyengir.

Kali ini Gallend tidak perlu repot-repot menahan tawa. Dasar Arum. Diberi pilihan apa, dijawab apa. Lalu, jika jawabannya sama sekali tak ada dalam pilihan yang Gallend tawarkan, mengapa ekspresi gadis itu seserius memikirkan jawaban matematika yang mutlak nilainya dan tidak boleh salah.

"Kalau Pororo, kenapa bisa suka?" Gallend yakin, Arum tidak sadar betapa saat ini ia nyaris tidak berkedip memandangi wajah gadis itu dari samping. Senyum lebar menghiasi wajah Arum, menghadirkan denyutan untuk kesekian kalinya di jantung Gallend.

Sebagai lelaki berpengalaman dalam urusan cinta, Gallend sadar denyutan ini berarti apa. Tapi, belum waktunya diungkapkan.

"Dulu waktu kecil, ayahku sering banget bawain DVD kartun Pororo. Mungkin karena ayah lihat aku selalu ketawa tiap kali nonton, jadi dia selalu kasih hadiah seperti komik, boneka, dan DVD Pororo tiap kali pulang ke rumah." Arum tersenyum, mengenang masa kecil yang mendadak menggelarkan rindu.

Kali ini ia menoleh pada Gallendra, melihat kernyitan menghiasi kening lelaki itu, Arum segera melanjutkan. "Ayahku sempat kerja di luar kota, Mas. Jadi, pulang ke Jogjanya cuma dua atau tiga bulan sekali. Dan mungkin, perasaan bahagia waktu diberi semua hadiah itu dari Ayah, jadi sebuah kebiasaan sekarang. Jadinya, aku selalu kesenangan tiap lihat apa pun yang berkaitan dengan Pororo."

Dilihatnya Gallend berangguk paham, mengukir ringisan Arum dengan segera. "Kekanakan, ya, Mas?"

Gallend bergeleng, wajahnya kentara polos saat berucap. "Gemesin, kok."

Tertegun, beberapa detik lamanya Arum bahkan kesulitan menelan ludah lantaran gugup ditatap sedemikian dekat oleh Gallend. "Ka-kalau Mas Gallend.."

Gallend mengangkat sebelah alisnya. "Aku? Kenapa?"

"Maaf, tapi.." Arum menunduk, menggigit bibir karena ragu. Tapi, ia sangat penasaran. Lagipula, Gallendra sendiri yang lebih dulu memilih tema pembahasan seperti ini, kan? Seharusnya tidak masalah untuk Arum menanyakan hal yang sudah sejak lama terbersit di benaknya.

"a-aku.. boleh tau enggak, kenapa Mas Gallend itu sukaaa banget mesum sama orang?"

Dengusan Gallend terdengar, membuat kepala Arum bergerak cepat untuk menatapinya.

Precious StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang