"Apaan, sih?" Arum memalingkan wajah. Bibirnya maju beberapa senti setelah mencebik sebal. Sudut bibir Gallendra tertarik ke atas, geli melihat reaksi perempuan itu.
"Mas Gallend mending pulang aja kalau di sini cuma cari gara-gara sama saya."
"Siapa yang cari gara-gara?"
"Itu tadi!" Telunjuk Arum melesat teracung, menyentak Gallend karena hampir saja jari perempuan itu menusuk matanya yang tadi sempat mendekatkan wajah untuk melihat ekspresi Arum lebih jelas. "Kenapa tadi tiba-tiba nanya gitu? Mas Gallend enggak usah ngalihin pembicaraan awal, ya."
Gallend mengangguk paham. "Jadi, kamu maunya kita masih debat nama kucing?"
"Ya enggak juga."
"Kalau gitu, kamu beneran suka sama Bara?"
Tidak butuh dua detik untuk Gallend berteriak kesakitan karena kakinya diinjak Arum dengan wedge milik perempuan itu. Spontan tangan lelaki itu mengusap cepat kaki kanan yang telah jadi korban kekerasan Arum. Meski kaki Gallend terbalut sneakers sebagai pelindung, tidak tahu seberapa besar energi yang Arum miliki sampai bisa membuat kaki Gallend terasa berdenyut sekarang.
"Mas Gallend, ih!"
"Lho?" Berusaha menahan kesal, Gallend melanjutkan pertanyaan lain yang menurutnya lebih menarik dibahas. "Kan, tadi ada Guntoro juga. Kok, kamu enggak khawatir bisa buat dia salah paham? Kenapa harus lebih cemas sama Bara?"
"Bukan urusan Mas." Arum membalas tatapan Gallend dengan mata bulatnya yang sengaja ditajamkan, tapi entah kenapa justru terlihat menggemaskan di mata lelaki itu.
Bergeleng sekali, menepis satu intuisi yang Gallend kenali jelas sebagai sentimen ketertarikan, lelaki itu mengendikkan bahu. Mengalihkan bahasan. "Oke, deh, kalau enggak mau kasih tau."
"Lagian Mas Gallend ngapain, sih, ke sini? Mau nguntit saya, ya?" pertanyaan Arum langsung mengangkat satu alis Gallend. Seakan tak peduli, Arum terus melanjutkan ocehan. "Mas bisa Bahasa Indonesia enggak, sih? Atau saya mesti pakai Bahasa Ibrani biar Mas bisa ngerti?"
"Kalau saya bisa Bahasa Ibrani, saya jadi penerjemah akhir zaman, Rum. Bukan direktur EO."
"Ya, pokoknya," Arum mengibaskan tangan. Tidak berniat meladeni candaan lelaki di sebelahnya lagi. "saya udah bilang, kan, enggak usah ungkit-ungkit masalah yang kemarin."
"Saya hanya mau memastikan kondisi kamu. Habis kamu enggak balas-balas chat saya, sih. Kamu sengaja menghindar lagi?" tanya Gallend.
"HP saya enggak ada jaringan, Mas." Arum berkilah.
"Kamu tinggal di Gua Jomblang?" sindir Gallend, karena ia yakin bukan itu alasan Arum tidak pernah membalas pesannya yang sudah tiga kali ia kirimkan—hanya benar-benar untuk mempertanyakan kondisi Arum.
Arum mencebikkan bibir, kebiasaannya yang selalu berhasil membuat Gallend serasa ingin meng-uyel-uyel wajah gadis itu biar mirip seperti adonan donat. Pasti lucu.
"Ya, makanya jujur, Rum. Enggak ada jaringan tapi bisa online WA sampai jam sebelas malam."
Dalam sekali gerakan, kepala Arum berputar cepat, menoleh dan menatap horor pada Gallend. Mungkin tak percaya mengapa Gallend begitu antusiasnya memerhatikan media sosial gadis itu.
Usai tersenyum jahil, Gallend menghela napas. Sementara Arum mengalihkan pandang pada apa pun selain Gallend.
Mereka diam hampir setengah menit, berusaha menekuri isi pikiran masing-masingm tentang mengapa keduanya jadi terlibat dalam peristiwa yang belum diketahui akhirnya akan bagaimana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Precious Stage
RomanceBagi Arum, Gallendra adalah buaya buntung berwujud manusia! Dia pria hidung belang yang pernah Arum temui di sepanjang sejarah hidupnya. Dalam sehari, Arum bisa memergoki Gallend bermesraan ratusan kali dengan cewek beda di mana saja. Dan kapan saja...