[Stage 6|B] Letupan Cahaya Warna-Warni

18.1K 1.7K 2
                                    

"Kalau iya, kita sama. Ayo!" Arum terhenyak kala Gallend memegang kedua bahunya erat-erat. Sekelabat adegan film di mana pemerannya jatuh dari ketinggian gedung berpuluh tingkat, menggenaskan kepala yang mendarat mulus di aspal jalan dan mengalirkan bercak darah, membuat Arum memejamkan mata. Takut. Dia takut.

Mengapa Gallendra tiba-tiba jadi sebegini mengerikan? Apa pria itu kerasukan?

Secepat kilat pertanyaan itu terjawab dengan bau menyerupai cuka yang sangat menusuk penciuman Arum, bercampur dengan keringat, menyengat. Bau alkohol. Arum membuka mata perlahan dan berkedip-kedip saat dirasa tak ada tanda-tanda Gallendra akan bergerak. Tubuh Gallendra berjarak sejengkal darinya. Tapi bisikan pria itu masih kedengaran begitu jelas. Kalimatnya seolah memperjelas dugaan Arum sekarang.

"Ayo Arum, kita terbang." Gallendra tertawa-tawa sendiri usai mengatakan kalimat yang diucapkannya dengan wajah tertunduk. Terkikik sendiri, tanpa Arum yang lebih memilih mengernyitkan kening.

Gallendra mabuk!

Lelaki itu mabuk. Pantas saja ucapannya meracau sejak tadi. Arum menghela napas, tadi Guntoro dan sekarang Gallendra. Ya Tuhaan, ada apa dengan setiap laki-laki di Yogya malam ini? Kenapa di perayaan menyambut tahun baru malah mabuk-mabukan? Seharusnya mereka bisa menikmati detik demi detik menuju meletusnya bunga kembang api di langit Yogyakarta. Kalau mabuk, apa yang bisa mereka lihat, selain bayangan berputar-putar dalam kepala?

"Arum.." Segala tanda tanya di benak Arum buyar, dia menahan napas ketika mendapati hidung Gallend sudah akan menyentuh ujung hidungnya. Tidak membiarkan kesempatan itu terjadi, dalam sepersekian detik telapak tangan kanan Arum langsung menabok kening Gallend hingga gerak kepala lelaki itu terhenti.

"Aaaaruum.." Ini kenapa Gallend memanggil namanya terus, sih? Kenapa hafal sekali coba?

"Mas Galleeeeeend!" sepanjang bibir Arum mengucap nama itu, selama itu pula telapak tangannya mendorong kening Gallend untuk menjauh. Berhasil. Meski akibatnya tubuh Gallend terhuyung, lelaki itu hampir jatuh kalau saja Arum tidak cepat memegangi kedua lengannya.

"Mas?" Arum menatap cemas pada Gallend yang kini masih menunduk. Seberapa banyak minuman alkohol yang Gallend tenggak, sih, sampai mabuk separah ini?

Tepat saat dirinya pusing menebak-nebak, rasa mual tak tertahan di perutnya timbul kembali. Kepalanya memang sudah sejak tadi serasa terus berputar, tapi sekuat tenaga ia tahan demi bisa membawa Gallend ke luar dari resto.

"Mas enggak apa-apa? Mas mabuk, ya?" Arum hanya bisa mendengar gumaman lemah Gallend. Pria itu berdiri dengan tumpuan pegangan tangan Arum.

"Mas.. ayo kita turun aja, ya? Saya akan bawa Mas temui Mbak Laras-"

"Saya enggak mau!"

Arum terkesiap kala Gallend menepis kedua tangannya dalam satu sentakan keras.

"Enggak mau!" Gallend bergeleng-geleng, pipinya menggembung sebagai bentuk penolakan. Andai Gallend lelaki baik di mata Arum, maka pastilah gadis itu akan gemas melihat pemandangan barusan.

"Saya enggak mau turun!" ujar Gallend sekali lagi, penuh penekanan. "Saya maunya terjun!" Gallend berusaha keras mendegapkan tubuh dan membuka kelopak matanya yang berulang kali hampir memejam, untuk menatap Arum lagi.

"Ayo, Rum. Kita terjun sama-sama. Pasti seru!"

"Mas Gallend ngomong apa, sih?!" gerutu Arum, dia mulai diliputi kesal. Demi Tuhan, dirinya ingin sekali bergabung dengan Rumi dan Padma untuk menunggu pesta kembang api tahun baru dimulai, tapi kenapa malah terjebak di sini dalam keadaan tidak jelas begini bersama Gallendra?

"Sadar, Mas! Insyaf, Mas, insyaf! Mas Gallend jangan bunuh diri! Itu dosa, lho! Mas mau mati? Iya kalau masuk surga. Kalau masuknya neraka gimana? Lagian Mas masih punya dosa sama saya. Saya belum maafin, lho. Mas udah seenak udelnya aja cium bibir saya!" ujarnya sembari menunjuk bibir sendiri. Bodo amatlah dengan rasa malu.

"Lagian nih, ya.. keluarga Mas Gallend pasti sedih kalau Mas-nya punya niat bunuh diri. Makanya it-"

"Keluarga?" suara sinis Gallend memotong ucapan Arum, membuat gadis itu tertegun. Mematung. Bukan hanya akibat perkataan tiba-tiba dari Gallend, tetapi juga lesakan dari dalam perut yang mendorong kuat diafragmanya dan rasa susah untuk bernapas.

"TAHU APA KAMU TENTANG KELUARGA SAYA?!"

Bentakan Gallend memperparah dera pusing yang teramat sangat menyerang kepala Arum, perutnya mual luar biasa, membuatnya menutup mulut dengan kedua tangan agar tidak terjadi hal yang membahayakan. Dia bahkan tidak sanggup menanggapi lagi ketika Gallendra bicara dengan tatapan bengis padanya.

"Saya enggak punya keluarga. Mereka sudah mati. Jadi jangan bahas mereka lagi atau-"

Kata-kata Gallend tertahan di tenggorokan. Semburan isi perut berupa cairan dan bulir-bulir sisa makanan yang belum terserap dari dalam mulut Arum, baru saja mengenai bagian depan kemejanya.

Dalam kesadaran yang tidak sepenuhnya, Gallendra menatap gadis di depannya dengan raut angkara murka.

"SHIT!" lelaki itu mengumpat. Dia bersiap membentak Arum sekali lagi, namun tubuh mungil gadis itu sudah lebih dulu ambruk membentur dadanya.

Tepat ketika itu, letupan ratusan cahaya warna-warni kembang api menguasai langit malam kota. Suara riuh teriakan penuh kagum manusia bercampur dengan tepuk tangan, membahana membelah udara. Semua orang pasti berbahagia sekarang.

Tidak dengan Gallendra.

Mau pun Arum yang sudah hilang kesadaran.

Mau pun Arum yang sudah hilang kesadaran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Precious StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang