[Stage 43] Cinta Tanpa Syarat

13.5K 1.2K 33
                                    

"Tinggalkan Arum atau aku akan menyebarkan foto-foto ini ke media?"

Gallend menatap datar lima lembar foto yang menampilkan gambar Arum bersama dengan Bara. Tidak perlu bertanya untuk bisa menyimpulkan bahwa hari itu, Bara bekerja sama dengan Gempi dalam menjebak Arum.

Rahang Gallend mengetat. Tapi, hanya dalam beberapa detik ia bisa menguasai diri. Berbeda dari kedua tangannya yang kini mengepal di sisi tubuh, bibir Gallend menyunggingkan senyum tipis yang sinis.

"Kamu tau sendiri, kan, perusahaan ayahku punya link yang bagus dengan media di Jogja. Aku hanya perlu memberikan semua ini sebentar," Gempita mencondongkan tubuhnya mendekati meja, memandang tajam Gallend penuh peringatan. "dan kamu bisa bayangkan akan seperti apa pandangan semua orang untuk Arum setelah foto-foto ini viral."

Darah mendidih itu tetap terasa, setiap kali ia berbicara dengan Gempita sejak sifat asli wanita itu keluar. Gallend bersyukur, waktu memeperlihatkan seberapa buruknya gadis yang pernah ia sayangi sebagai keluarga.

Gempita bersandar di kursinya lagi, melipat tangan di depan dada dengan wajah angkuh seperti biasa. "Aku juga akan anggap semua penolakan Kak Gallend kemarin enggak pernah terjadi. Kakak bisa dapatin saham orang tuaku dan Mahameru Production lagi asal mau meninggalkan gadis lemah itu."

Tawa Gallend pecah kala mendengar kalimat terakhir Gempi.

"Kamu mainnya kurang jauh, Gem."

Kernyitan tercetak jelas di dahi Gempi. Hatinya meradang saat Gallend melanjutkan ucapan dengan santai. "Bukan hanya di mataku, tapi di mata orang lain, Arum adalah sosok polos yang enggak pernah terpikir sekali pun untuk membunuh semut. Berbuat jahat pada binatang saja dia takut, apalagi pada manusia. Kalau permainan kamu cukup jauh, kamu akan tau bahwa kebaikan Arum itu bukan karena dia lemah. Tapi kekuatannya terpancar dari bagaimana dia berpikir dan bertindak."

"Kamu nyindir aku?"

"Kalau kamu merasa diri kamu pintar, kamu pasti tau maksudku."

Gempi mengepalkan kedua tangannya kuat di atas pangkuan, mungkin buku-buku jarinya bisa memutih sebentar lagi. Kata-kata Gallend tidak dipenuhi amarah, tapi entah bagaimana seolah menyindirnya telak.

"Serahkan saja ini pada siapa pun. Aku dan Arum tidak akan terganggu." Gallend mengetukkan jari di atas kertas foto. "Tapi, aku masih memperingatkan kamu sekarang, terakhir kalinya sebagai kakak angkat. Kalau kamu tetap menyebarkannya juga, aku enggak keberatan untuk memutuskan persaudaraan kita. Dan aku," Tatapan Gallend menajam. "enggak akan pernah memaafkan kamu sebelum kamu minta maaf ke Arum."

Gallend menghela napas samar, melirik cangkir kopi di dekat tangannya namun enggan untuk menghabiskan. Saat matanya bersitatap dengan Gempi kembali, "Bukan hanya kamu yang menderita, Gem. Banyak orang di dunia ini yang harus berjuang untuk tetap bertahan hidup. Termasuk aku. Tapi, banyak di antara mereka yang melakukan pertahanan dengan cara terpuji. Bukan dengan cara hina seperi apa yang kamu lakukan sekarang." ujarnya.

Helaan napas Gallend terdengar lagi sebelum ia berdiri dan mengeluarkan secarik uang dua puluh ribuan untuk di letakkan di bawah cangkir, sama sekali tidak sudi memiliki hutang budi pada gadis di hadapannya yang hanya menatap penuh amarah.

"Sekali pun kamu sebarin semua foto ini, enggak serta merta mengubah pandangan semua orang untuk Arum, Gem. Mereka punya akal dan perasaan untuk tahu mana yang benar."

Kalimat terakhir sebelum Gallend berlalu pergi membuat Gempita berusaha keras menahan diri untuk tidak menjerit kesal di tempat.

*

"Kamu bilang gitu, Mas?"

Anggukan Gallend membuat Arum menghela napas. Bukan lega yang tersirat di dalamnya, tapi Gallend seolah menangkap desah kecewa dari Arum.

Precious StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang