[Stage 21] Debar Aneh

10.6K 1.2K 24
                                    

Entah sudah keberapa kalinya bibir Arum mengerucut maju, akibat tawa Gallendra yang tidak berhenti memenuhi mobil sejak sepuluh menit lalu, saat Arum baru saja selesai bercerita. Hari ini pun, Gallendra kembali menjemputnya sepulang kerja. Bulu kuduk Arum rasanya masih meremang saat di mana teman-temannya, ditambah pegawai D'Amore Organizer yang lain riuh menggodanya.

"Dasar Suketi." Gallendra bergeleng-geleng dengan tangan kiri memegangi perut sedang tangan lainnya fokus mengemudikan stir. "Bukannya cari dulu yang namanya 'Arum', malah bergosip. Bisa-bisanya dia malah ngatai aku di depan orang yang mau dia cari."

Arum menghela napas. Tubuhnya yang semula tegak, disandarkannya punggung pada jok kursi penumpang di samping Gallendra. Ia bersedekap. "Lagian Mas Gallen ada-ada aja, sih. Ngapain coba antar-antar banyak barang begitu ke kantor aku?"

"Lho?" Gallend menoleh, keningnya berkerut. "Memangnya kenapa? Bukannya kamu suka? Semua hadiah itu edisi baru, lho."

"Iya, sih. Tapi, enggak harus sebanyak itu juga. Boneka yang dulu Mas Gallend kasih aja, susah banget masuk ke pintu kamar aku gara-gara kebesaran. Ini tambah lagi pernak-pernik lain." gerutu Arum. Cekikikan Gallendra sedikit banyak membuat gadis itu meradang.

"Sama-sama, Arum." Arum menoleh bingung. Butuh tiga detik untuknya sadar bahwa Gallend sedang memberi sindiran. Membuatnya meringis malu, mau tidak mau. "Tapi, makasih, Mas."

"Tulus enggak?" satu alis Gallend bergerak-gerak, berniat menggoda.

"Matur nuwun, Mas Gallend!" Gallendra tak bisa menahan tawanya lagi ketika Arum mengatupkan kedua telapak tangannya rapat-rapat dan menyentukannya apda kening yang sedikit menunduk ke arah Gallendra.

Namun, dapat lelaki itu pastikan apa yang akan Arum lanjutkan setelahnya. Kembali mengomel, seperti biasa, membuat bibir Gallend tersenyum simpul. "Tapi, enggak harus ke kantor juga, toh, Mas? Aku tuh malu dilihatin anak-anak kantor. Nanti dikiranya aku porotin pacar. Terus mereka juga sebut aku anak kecil terus, gara-gara sukanya Pororo. 'Kan aku malu." Meski Gallend tidak melihat, tapi ia yakin bibir Arum tengah memberengut sebal sekarang.

"Selama sukanya bukan pada hal negatif, kenapa harus malu?" Gallend menarik tuas persneling saat Range Rover-nya berhenti di pertengahan gerombolan mobil, depan lampu merah.

"Mas Gallend enggak mau ngatai aku anak kecil juga?"

Gallend menelengkan kepala. "Mirip, sih."

Tertarik untuk melihat bagaimana reaksi ekspresi Arum sekarang, lelaki itu mengalihkan pandangan dari padatnya jalanan Malioboro saat petang hari. Benar saja, bibir lelaki terkulum senang melihat Arum mencebikkan bibir. Mungkin jika terus didiamkan, gadis itu bisa saja mengeluarkan airmata diam-diam.

Tapi, tidak. Tak akan Gallend biarkan. Entah sejak kapan dirinya kerap memiliki dorongan keinginan untuk tidak membiarkan gadis itu bersedih dalam arti yang sebenarnya, sehingga kini tangan kiri Gallend yang bebas terulur menyentuh puncak kepala Arum.

"Anak kecil yang gemesin, maksudnya." ujar Gallend, mengulas senyuman lebar.

Hanya dalam sepersekian detik sadar pada apa yang Gallend perbuat, Arum memekik kesal ketika Gallend berhasil mengacak-acak rambutnya yang hari ini digerai panjang dengan poni menutupi dahi.

"Aku udah capek sisir rambutnya, Mas!"

*

Senyum Gallend tak pernah lenyap. Retinanya sedari lima belas menit lalu tidak berhenti memantau setiap pergerakan Arum yang kegirangan menyusuri koridor di antara rak-rak supermarket sambil mendorong troli penuh barang. Setelah makan malam di warung sate langganan Arum, Gallendra mengajaknya ke sebuah swalayan untuk membeli bahan-bahan pengisi kulkas apartment Gallend, baru setelahnya mengantarkan Arum pulang.

Precious StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang