Teknisi hotel baru mengabarkan jika mereka tidak memiliki alat perbaikan lengkap untuk mesin lift yang macet, sehingga terpaksa menghubungi petugas pemadam kebakaran kota yang pasti punya peralatan lebih banyak. Saat mendengarnya, jiwa Arum yang sempet tenang diserang panik lagi. Meski sudah berusaha mengikuti semua saran Gallend, enam puluh menit lebih terjebak di lift tetap saja membuatnya cemas.
Pasokan udara tampaknya semakin menipis, terbukti dari napas Arum yang mulai memberat. Bahkan Gallend, Arum sempat mendapati lelaki itu melonggarkan dasi di lehernya dan menghela napas beberapa kali dengan samar. Arum yakin, Gallend berusaha keras tetap tenang di antara dua perempuan yang kian merasa panik.
Tak sanggup berdiri, Arum merosotkan tubuhnya untuk duduk sembari meletakkan kardus yang sejak tadi ia dekap di sisi kiri. Ia takut meletakkannya di lantai tadi, karena bila ada pergeseran lift mendadak, hal itu bisa saja merusak apa pun benda yang ada di dalam kardus tersebut-sebab sepengetahuan Arum, beberapa isinya adalah barang antik pesanan Arkana.
Mungkin sudah lebih dari satu jam telewati. Arum terus berdoa dalam hati agar Tuhan menyelamatkan mereka dengan segera. Sementara Irisha, sudah kelihatan kehabisan napas. Paniknya sejak tadi ternyata membuahkan kesulitan bernapas lebih cepat. Tepat seperti apa yang Gallendra beritahu.
"Ibu, Bapak, mohon maaf! Tolong tunggu sebentar, ya! Pemadam kebakarannya sudah tiba. Kami akan coba buka sekarang! Tolong tetap tenang dan jangan panik, ya!" teriakan salah satu petugas teknisi terdengar menggema. Asal suaranya dari atas, sehingga Arum menduga kemungkinan mereka terjebak di pertengahan dua lantai.
"YAA!" jawab Gallend, mewakili kedua gadis yang sudah terlihat tidak baik-baik saja. Di sudut kiri, Arum menunduk dengan wajah pucat. Dan Irisha sudah tidak sanggup bersuara, dia duduk bersandar pada dinding lift dengan mata terpejam, menahan tangis.
Arum melatih otak dan pikirannya agar tetap tenang, meski tak dipungkiri, nyeri di dada, lemas, dan napas berat semakin menderanya. Gawat. Mungkin ia pun sudah tidak sanggup lagi membuka mata.
Beberapa menit kemudian suara petugas dan alat yang digunakan untuk membuka pintu lift terdengar. Ternyata cukup sulit, karena tidak ada tanda-tanda lift bergerak meski sudah bermenit-menit berlalu. Sampai dari kejauhan terdengar mesin atau apa pun itu yang kemudian berhasil menggerakkan lift ke atas perlahan-lahan.
Namun tidak sampai di sana, karena pintu lift belum bisa terbuka bahkan hingga kotak lift sudah berhenti bergerak. Dengan mata sayup, sembari menghela napas yang makin berat dan nyeri di dada teramat sangat, Arum sempat melihat pintu lift dibongkar paksa-entah menggunakan apa.
Belum sempat ia tahu kelanjutannya, kegelapan menyerang dalam sepersekian detik hingga Arum tidak ingat apa pun lagi.
*
Suara-suara itu tumpang tindih. Arum bisa mendengarnya samar. Tapi tidak tahu, siapa yang bersuara. Dan siapa pula yang menggoyang-goyangkan badannya sekarang.
Ketika cahaya putih berhasil menyapa retina gadis itu, ia mengerjap-ngerjap. Berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke mata. Rasa pusing di kepala masih terasa, meski napasnya tidak seberat tadi.
Eh? Tunggu. Apakah dirinya masih ada di lift? Atau sudah di luar? Di rumahkah?
"Mbak!"
"Gallend!"
"Ibu sudah sadar?!"
"Arum!"
"Kamu udah bangun, Rum?!"
Runtutan suara tumpang tindih, memaksa Arum lebih cepat menormalkan penglihatannya. Tapi ketika terang sepenuhnya menyapa dan memperlihatkan pemandangan di depan, kepanikan secepat kilat menyerang kala ia menemukan wajah Gallendra berada begitu dekat dengan wajahnya.
Arum terhenyak.
GALLEND MAU NGAPAIN?!
"Mbak enggak ap-"
TAAAAK!
Kalimat Gallend tidak pernah tergenapi, karena kepalanya sudah lebih dulu dipukul dengan segenap tenaga dalam yang kepalan tangan Arum kerahkan.
Entah kekuatan sebesar apa yang gadis itu punya, sampai berhasil membuat tubuh Gallendra yang semula duduk bersimpuh, menunduk untuk memerhatikan wajah pucat Arum, menjadi limbung dan terdorong hingga membentur kardus di dekatnya sampai kardus terbalik.
Suara nyaring pecahan kaca terdengar, disusul tarikan napas beberapa teknisi dan pegawai hotel yang melihat pemandangan sepersekian detik itu dari luar lift.
"MAS MAU MESUM SAMA SAYA, YA? HAH?!" Dengan cepat Arum bangkit, kedua tangannya memeluki bagian depan tubuhnya sendiri. Tidak perduli kepalanya serasa berputar ketika ia sudah berdiri dan menatap Gallendra bengis.
"VAS ANTIK GUE!" Sebuah suara histeris menginterupsi. Arum menoleh dan terkejut mendapati banyak orang di depan mereka, termasuk Irisha yang kini menyorotinya tajam nan mematikan.
"VAS ANTIK GUE PECAAAH!" Suara penuh luka itu terdengar lagi. Sialnya, berasal dari bibir Arkana yang kini menatapi Arum dengan pelototan.
------
Ini nih, pelaku penimpukan kepala Gallendra. Omeli aja dia, omeli wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Precious Stage
RomanceBagi Arum, Gallendra adalah buaya buntung berwujud manusia! Dia pria hidung belang yang pernah Arum temui di sepanjang sejarah hidupnya. Dalam sehari, Arum bisa memergoki Gallend bermesraan ratusan kali dengan cewek beda di mana saja. Dan kapan saja...