[Stage 39] Jeda

9.6K 1K 15
                                    

"Maaf.."

Arum menunduk dalam, berupaya menyembunyikan cairan yang sudah sepuluh menit lalu bergumul di pelupuk matanya saat hanya hening yang menghiasi pertemuannya dengan Gallendra setelah dua hari lamanya mereka tidak bertemu.

Baru tadi pagi, Arum membalas pesan Gallend di ponselnya dengan mengajak bertemu di taman depan D'Amore Hotel. Bagaimana pun, Arum tau dirinya harus segera menyelesaikan masalah genting ini dengan Gallendra. Mereka bukan anak remaja yang wajar berdiam lama-lama. Selama dua hari ini, selain karena Paranita menugaskannya ke Sleman bersama Guntoro, Arum sudah merasa cukup menghindari Gallend dengan memblokir nomor pria itu.

Hanya sejenak. Sesaat. Bagaimana pun Arum butuh berpikir. Tidak bisa serta merta hanya mendengar penjelasan Gallendra yang sejujurnya, ia sendiri tidak tahu jujur atau tidaknya. Arum butuh berdamai dengan dirinya dahulu, sebelum mengambil keputusan setelah mendengar penjelasan Gallend nanti.

"Kamu menipuku, Mas?"

Hanya tiga kata. Tapi, itu sangat berhasil membuat tubuh Gallend menegang.

"Enggak, Arum!"

Melihat Arum yang menunduk kembali tanpa merespon, Gallend mendesah gusar. "Sama sekali enggak! Kamu enggak percaya?" Justru, Gallend merasa kalimatnya sendiri yang sarat akan ketidak percayaan.

Dari semua kalimat yang Gallend duga akan Arum utarakan untuk menunjukkan kemarahannya, mengapa kata 'menipu' yang diucapkan dengan nada biasa saja? Seolah gadis itu tidak marah. Tidak kecewa.

Itu lebih menyakitkan daripada Arum berteriak padanya.

"Cinta yang selama ini kamu kasih ke aku.." Gallend benar-benar merasakan sebuah denyutan di jantungnya ketika suara datar Arum terdengar lagi. "apa itu benar-benar nyata?"

Gallend tertegun. Butuh hampir satu menit untuknya mampu mengatur fungsi kerja saraf motoriknya kembali. Kedua tangan yang mengusap wajah beberapa kali. Menatap Arum frustrasi.

"Kamu tau jawabanku, Rum."

"Kenapa kamu selalu bilang kalau aku tau jawabannya?!"

Dan, Gallend terhenyak. Kehilangan kata-kata. Kali pertama Arum bicara dengan nada membentak.

Mengerjap, untuk berpikir apa yang harus ia lakukan sekarang, Gallend beringsut sedikit mendekati Arum yang duduk tepat di sebelah kanannya pada bangku taman panjang berwarna putih.

"Padahal sebenarnya aku enggak tau apa-apa, Mas. Bahkan rencana pertunangan kamu aja aku enggak tau sama sekali! Kalau aku tau, aku enggak akan memperlihatkan kebodohan aku sendiri dengan pergi ke sana malam itu. Tapi, nyatanya.." Arum menarik napas, tapi justru tersedak kecil karena kesusahan.

"a-aku terlalu mudah percaya kalau Gempita sudah mulai menerimaku. Aku terlalu bodoh, berpikir kalau hubungan kita akan mudah ke depannya, Mas.."

Ada sebuah tangan tak kasat mata yang kini meremas jantung Gallend. Suara getir Arum benar-benar membuatnya tersakiti. Dia tidak sanggup.

"Kamu juga kenapa enggak pernah bilang tentang pertunangan itu? Kalau kamu bilang, setidaknya aku cukup tau diri untuk enggak datang." Arum memandang Gallend kembali. Luka dalam iris pekat gadis itu, membuat Gallend menahan napas sejenak. Merasa begitu bersalah. Terlebih ketika caira bening itu membasahi pipi Arum sekarang, hingga dengan kasar gadis itu segera mengusapnya menggunakan jemari.

Seolah tidak bersedia jika Gallend menghapusnya lebih dulu.

"Aku mohon, Mas.."

Gallend menggeleng samar. Tidak. Ia tidak bisa membiarkan Arum memohon padanya. Gallend ingin berucap, tapi pita suaranya seakan menghilang. Atau lebih tepat, bibirnya yang tidak bisa bergerak?

Precious StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang