"Jadi, menurut kamu.." suara Bara membuat Arum terkesiap kecil. Lamunannya buyar dan kini berganti menatapi Bara yang kelihatan masih fokus membahas perihal temannya.
"teman saya harus gimana, ya? Di satu sisi dia mau nurut sama keluarganya. Tapi, di sisi lain, dia juga enggak bisa maksa hatinya sendiri buat suka sama wanita yang dijodohin dengannya itu."
Mengerutkan kening, Arum berpikir. Belum sempat ia mengatur pola kata dari pendapat yang ingin disampaikannya, pembicaraan mereka tertunda dengan kehadiran seorang pelayan yang membawakan makanan pesanan keduanya.
Bara mengucapkan terima kasih, begitu pun Arum yang sesegera pelayan tersebut pergi, langsung menyesap lime squash miliknya untuk sedikit menghilangkan ketegangan.
Berduaan dengan Bara saja sudah membuatnya keringat dingin karena gugup, apalagi disuruh bantu memecahkan masalah percintaan yang cukup krusial. Menerima perjodohan dari orang tua atau memperjuangkan cinta sendiri yang berpotensi tak direstui.
"Sebenarnya, saya percaya bahwa pilihan orang tua itu pasti punya niat baik untuk kita. Orang tua pasti milih sosok yang menurutnya paling baik untuk dijadikan pasangan anaknya, kan?"
Bara mengangguk.
"Dan menurut saya, usaha teman Mas yang mencoba berhubungan sama wanita itu, udah cukup membuktikan kepatuhannya sebagai anak, sih. Tapi, hasilnya tergantung lagi dengan perasaan teman Mas sendiri. Toh, orang tuanya pasti mau dia bahagia, kan? Kalau kenyataannya, teman Mas enggak bisa bahagia sama orang yang dijodohin dengannya.." Arum mengedikkan bahu sekali dan berkata penuh keyakinan. "saya rasa, sebaiknya perjodohan itu jangan dilanjutkan."
Sembari mulai memutar spaghetti aglio olio-nya dengan garpu, Arum melirik Bara. Kerutan di kening lelaki itu menandakan jelas dirinya mungkin sedang berpikir keras sekarang.
"Lagipula," Arum melanjutkan. "kasihan wanita itu juga kalau sampai hubungan mereka berlanjut ke pernikahan, tapi pasangannya ternyata enggak pernah mencintai dia sama sekali, lebih parah lagi kalau pasangannya malah cinta sama wanita lain. Itu miris banget, sih. Kalau saya di posisi ceweknya juga saya enggak bakal mau dijodohin."
Setelah memasukkan mi eke dalam mulut, Arum menatap Bara lagi dan sedikit terkejut saat mendapati tatapan lekat Bara. Tatapan yang untuk beberapa detik lamanya, tidak bisa Arum terjemahkan artinya dengan baik.
Kenapa? Apa Arum baru saja salah bicara?
"Eh, tapi ini menurut pendapat saya, ya, Mas. Semuanya balik lagi ke teman Mas sendiri, sih. Enggak nutup kemungkinan juga lama-lama dia bisa aja jatuh hati sama calon yang dijodohin dengannya, kan, kalau seandaianya dia mau nyoba lebih lama lagi menjajaki hubungan." Arum menjelaskan dengan cepat seraya menggaruk leher, merasa kikuk.
Tidak butuh waktu lama untuk Bara meresapi maksud semua perkataan Arum. Ia mengangguk. "Makasih, Rum. Sebenarnya, saya juga sependapat sama kamu, sih."
"Sama-sama. Maaf juga, Mas, saya cuma bisa bantu kasih pendapat seperti itu."
"Itu udah sangat membantu, kok. Saya lebih yakin sekarang untuk nyaranin hal yang sama dengan kamu ke teman saya itu. Sekali lagi, terima kasih, ya."
Melihat Arum mengangguk kuat-kuat dengan pipi menggembung karena berisi makanan, Bara tertawa pelan, sebelum mulai mengunyah daging iga bakar dari piringnya sendiri.
Kedua orang itu larut dalam perbincangan panjang, mulai dari berdiskusi masalah pekerjaan sampai Bara yang tiba-tiba saja tertarik menanyakan kehidupan sehari-hari Arum bila di akhir pekan. Menganggap bahwa itu hanyalah pembicaraan baisa yang pasti sering Bara lakukan dengan pegawai D'Amore lainnya, Arum menjelaskan juga. Meski hatinya ketar-ketir setiap kali mendapati senyuman Bara setiap kali memandanginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Precious Stage
RomanceBagi Arum, Gallendra adalah buaya buntung berwujud manusia! Dia pria hidung belang yang pernah Arum temui di sepanjang sejarah hidupnya. Dalam sehari, Arum bisa memergoki Gallend bermesraan ratusan kali dengan cewek beda di mana saja. Dan kapan saja...