Mematut dirinya sendiri di cermin, Arum tersenyum. Ia sangat menyukai gaun brokat berwarna merah muda pastel yang membungkus tubuhnya. Terlihat manis. Pilihan Rumi memang selalu pas. Arum beruntung punya sahabat sebaik gadis yang kini sedang gelisah memegangi ponselnya sendiri itu.
Sejak tadi, Rumi berusaha menghubungi sang kekasih. Sudah lima belas menit mereka bertiga menunggu, tapi Abid-yang katanya sudah dalam perjalanan-belum juga tiba.
"Astaghfirullah!"
Tersentak, Arum menoleh pada Rumi.
"Kenapa, Mi?" pertanyaan Padma mengambil alih kebingungan di benak Arum.
"Mas Abid enggak bisa jemput kita sekarang! Mobilnya tiba-tiba aja bocor ban! Gimana dong?" Rumi menggigit bibir, berjalan mondar-mandir dengan raut cemas. "Gimana, nih? Mana acara gala dinner-nya mau mulai 30 menit lagi! Kita bisa telat kalau nunggu Mas Abid selesai dari bengkel."
Arum menggaruk pelipis, bingung. Saat secercah ide muncul di kepala, ia mengulas senyum. "Kita naik taksi online aja," Diraihnya ponsel, segera memesan layanan taksi online melalui aplikasi. Sepuluh menit menunggu, bahunya merosot. "Ndak ada driver-nya."
"Whaaat?" Rumi histeris. Sementara Padma menghela napas.
Meski sudah mencoba hingga tiga kali, tidak ada satu pun driver taksi yang menerima orderan Arum.
"Mas Bara!" Arum menahan napas ketika nama itu tercetus dari bibir Padma.
"Kenapa kita ndak nelepon Mas Bara aja? Bukannya rumah Mas Bara searah sama rumah kamu, Rum?"
Kening Arum mengerut. "I-iya, sih, tapi.."
"Kita bisa hubungi Mas Bara, Rum! Minta tolong dia jemput kita. Kan, ndak salah juga karena dia pasti lewat jalan rumah kamu buat ke hotel."
"Bener, bener." Sahutan Rumi membuat Arum makin pusing. Masalahnya, jantung Arum pasti tidak akan baik-baik saja jika harus satu mobil dengan lelaki yang dia suka.
"Nelepon Mas Bara sekarang, dong, Rum. Ayo cepetan! Sebelum kita terlambat! Guntoro udah ngomel-ngomel terus dari tadi karena dia kelabakan handle acara sendiri." Padma terus mendesak.
"Ta-tapi.." Kata-kata penolakan Arum tidak mampu tergenapi kembali, karena Padma sudah merebut ponselnya untuk segera mencari nama Bara di dalam daftar kontak.
"Biar aku aja yang nelepon, deh! Kalau lama, mekap kita bertiga keburu longsor!" ujarnya, sebelum menempelkan layar ponsel ke telinga kanan.
"Hallo, Mas Bara?"
Dan ketika suara riang Padma terdengar, Arum menelan ludah.
*
Konsep Gala Dinner yang diusung D'Amore Organizer dan Mahameru Production tahun ini adalah Winter, cocok untuk suasana akhir tahun. Taburan lampu biru dan pohon- pohon putih yang mengelilingi taman hotel, melimpahkan kesan untuk setiap para tamu seolah-olah mereka sedang berada di musim salju.
Alunan musik yang tenang dinikmati dengan berbagai menu hidangan makanan yang menggugah selera. Semua orang tampak menikmati acara sejak awal, tapi Arum baru mampu menetralkan debaran di dadanya sekarang. Tepat, setelah ia turun dari mobil Bara dan akhirnya duduk di salah satu meja khusus untuk para pegawai D'Amore Organizer.
Tangan Arum masih berkeringat dingin, sehingga gadis itu memutuskan ingin menenangkan dirinya di toilet dalam hotel lebih dulu.
Arum menyusuri jalan setapak untuk menuju teras taman. Sembari melangkah, pikirannya tidak berhenti memutar kembali kejadian selama di mobil Bara tadi. Seperti biasa, Bara selalu berbicara ramah. Namun, tidak ada yang sadar betapa Arum dilanda gugup karena terpaksa mengikuti perintah Bara untuk duduk di kursi depan, tepat di samping lelaki itu yang mengemudikan mobil.
Arum tidak mau berharap dengan permintaan Bara tersebut. Bara selalu baik pada banyak orang, dan permintaan itu bisa saja tidak berarti apa-apa. Meski, secercah harapan tetap saja tidak bisa hati Arum sangkal, menyadari kemungkinan bahwa Bara juga..
"Menyukainya?"
Suara itu mengganggu Arum, membuat langkahnya tertahan di ujung jalan. Tidak hanya kata-kata barusan merealisasikan apa yang sempat terlintas di benak Arum, tetapi suara yang entah sejak kapan mulai dia kenali itu membuat tubuhnya kini menegang.
"Kamu yang bener aja, Rish? Gimana bisa aku suka sama dia?"
"Maksud kamu aku bodoh, gitu? Sampai ngomong pun enggak bener, Gallendra?"
"Bukan gitu. Maksudku-"
"Udahlah Gallend! Aku udah capek sama kamu!"
Bersembunyi di balik semak-semak tanaman hias, Arum menutup telinganya rapat-rapat dengan kedua tangan. Dia tidak mau mendengar pertengkaran di antara sepasang kekasih itu lagi. Dia tidak mau menjadi saksi mata yang terlibat dalam drama percintaan mereka-yang entah disebabkan karena apa.
Dengan cepat Arum membuka high heels-nya, menentengnya di tangan kanan. Ia berjinjit pelan agar tidak menimbulkan suara, lalu segera berlari sekencang mungkin ke dalam hotel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Precious Stage
RomanceBagi Arum, Gallendra adalah buaya buntung berwujud manusia! Dia pria hidung belang yang pernah Arum temui di sepanjang sejarah hidupnya. Dalam sehari, Arum bisa memergoki Gallend bermesraan ratusan kali dengan cewek beda di mana saja. Dan kapan saja...