Helaan napas Arum sebelum gadis itu mulai memutar spaghetti-nya dengan garpu, membuat Gallend berhenti mengunyah. Mengangkat wajah, ditatapnya Arum dengan satu alis terangkat.
"Kenapa?"
"Mesti banget ya di sini, Mas?" Arum melontarkan tanya balik sebagai jawaban atas pertanyaan Gallendra. Mengikuti arah pandang gadis itu yang mengedar ke sekeliling resto, Gallend mengangkat bahu.
"Mau gimana lagi? Kamunya juga sok sibuk, sih. Terpaksa kita makan di resto hotel kamu, kan."
"Bukan sok sibuk."
Sembari menyendok nasi kebulinya, bibir Gallend menyunggingkan seutas senyum. Ia hanya bermaksud bercanda, tapi Arum selalu terpancing kesal dan memang itulah yang Gallend harapkan.
Pipi gadis itu akan senantiasa menggembung, kadang telinganya ikutan merah, karena amarah. Amarah yang biasanya hanya terjadi dalam waktu singkat. Mengenal Arum sebagai kekasih 'pura-pura' selama hampir seminggu ini, Gallend jadi tahu kebiasaan gadis itu.
Penyuka susu, Pororo, tidak pernah bisa marah lama-lama, dan telinganya akan memerah tiap kali merasa malu atau pun marah. Satu lagi, kebiasan mencebikkan, mengerucutkan, dan menggembungkan bibir seperti tadi.
Selama lima hari ini pula, Gallend selalu menjemput arum saat pulang kantor. Awalnya mati-matian Arum tolak—sampai gadis itu mogok bicara di hari pertama Gallend menjemputnya di depan para pegawai D'Amore Organizer. Tapi, setelah Gallend memintanya untuk memahami bahwa tindakan Gallend ini adalah salah satu upaya semua orang percaya dengan hubungan sandiwara mereka, baru Arum menyetujui.
Meski tetap saja, setiap Gallend mengajak Arum makan bersama, gadis itu senantiasa mengomel panjang lebar. Lalu berhenti setelah menyeruput Ice Milk yang sengaja Gallend pesankan untuknya.
"Bulan ini, tuh, memang ada tiga event. Dua di antaranya acara besar. Mas Gallend enggak lihat? Teman-temanku tadi aja banyak yang makan siang di kantor. Aku juga kalau enggak diseret Mas Gallend ke mari, pasti tadi udah makan bareng Rumi dan Padma." Arum lanjut menggerutu.
"Justru kalau kamu enggak makan sama aku, malah aneh." Gallend menyingkirkan piringnya yang sudah tandas ke pinggir meja, lalu meneguk air putih miliknya. Selesai menelan, lelaki itu menatap Arum sangsi. "Apa kata teman-teman kamu, Rum? Masa' kekasihnya datang ke tempat kerja, ceweknya malah makan siang bareng orang lain? Yang ada orang-orang curiga, kita ini sebenarnya pasangan kekasih atau bukan."
"Masalahnya," Arum bergeleng sekali. Memberikan Gallend sorot mata tajam yang menghakimi. "Ini udah kesepuluh kali dalam seminggu Mas Gallend ajakin aku makan bareng terus. Enggak bosan apa?"
"Enggak pernah ada kata 'bosan' buat ketemu kamu."
Meski raut wajahnya sengaja ia datarkan, Gallend tertawa dalam hati saat mendapati Arum mengarahkan bola matanya ke atas.
"Aku yang bosan."
Gallend berdecak, pura-pura kesal. Geli menatap Arum yang kini kembali menyantap makanannya dengan wajah cemberut, Gallend berkata, "Wajahnya biasa aja, dong, Sayang. Jangan wajah susah begitu, ah."
"Susah apanya?!"
"Susah aku lupain."
Arum tersedak. Kebiasaan lainnya tiap kali Gallend menguntai gombalan Ketika gadis itu sedang makan atau minum sesuatu.
"Oh, iya. Hampir aku lupa. Aku ke sini tadi mau ngajak kamu ke pesta pernikahannya temanku minggu depan."
Kening Arum mengernyit.
"Mau, kan, temani aku?" tanya Gallend to the point.
"Enggak, ah." Arum pun menjawab sebelum sela waktu sedetik. Begitu cepat, sampai membuat Gallend menggeram frustrasi—tentu saja pura-pura.
KAMU SEDANG MEMBACA
Precious Stage
RomanceBagi Arum, Gallendra adalah buaya buntung berwujud manusia! Dia pria hidung belang yang pernah Arum temui di sepanjang sejarah hidupnya. Dalam sehari, Arum bisa memergoki Gallend bermesraan ratusan kali dengan cewek beda di mana saja. Dan kapan saja...