"Mbak Arum."
Sepertinya mulai detik ini, panggilan 'Mbak Arum' akan menjadi sebutan keramat yang selalu menyalakan alarm tanda bahaya di otak si pemilik nama. Karena entah sejak kapan, seolah terbiasa, Gallendra sudah lancar sekali memanggilinya demikian.
Arum menoleh ke belakang untuk meyakinkan dugaan, sebelum memutar kepalanya lagi ke depan, menghadap kolam air mancur di taman sebelah barat D'Amore. Seketika Arum menyesali niatnya mencari udara malam di sini demi menghindari keberadaan Gallendra di Hall Room.
Kenapa sekarang, Gallendra malah ikut-ikutan ada di teras taman ini?
Arum mencebikkan bibir, sebal. Gallendra jadi mirip hantu yang datang balas dendam pada pembunuhnya. Ngikut terus. Tapi, Arum, kan, bukan pembunuh. Cuma pernah nimpuk kepala Gallend saja.
"Enggak masuk lagi ke dalam?" tanya Gallendra, setelah berhenti melangkah tepat di sebelah Arum yang kini merapal doa untuk membuat dirinya sendiri tidak terlihat.
Tapi, ibadah Arum sepertinya masih jauh dari sempurna, karena dia gagal dan justru terkesiap ketika Gallend mengibas-ngibaskan satu tangan di depan wajahnya. Menanti jawaban.
"Mbak Arum?"
Arum kesulitan mengatur kata. "Eng-enggak, Mas. Tiba-tiba mau hirup udara malam aja."
Gallend mengangguk kecil. Beberapa detik keduanya dilingkupi hening. Belum selesai Arum merancang ide kabur terbaik, suara Gallendra sudah mengisi pendengarannya lagi.
"Tentang.. vas bunga yang tadi siang pecah, bagaimana? Apa Arkana meminta ganti rugi?"
Butuh satu kerjapan mata untuk Arum paham pertanyaan itu. Baiklah, mungkin sekarang waktu yang tepat membahas akibat dari insiden tadi siang, sekaligus meminta maaf kepada Gallendra.
"Enggak, Mas. Dia memaafkan saya untuk kejadian tadi."
Entah kenapa, Arum bisa menyadari keterkejutan di manik Gallendra. Tidak berlangsung lama, karena setelahnya lelaki itu mengangguk-angguk, lalu ikut memerhatikan air mancur yang jatuh mengenai semen-semen kolam.
Sorot lampu-lampu klasik taman di sekitar kolam, yang memendarkan cahaya dari tembaga dan kaca yang menutupinya, memberikan efek tenang di antara gemerlapnya malam.
Arum menunduk. Pita di flat shoes-nya tiba-tiba saja jadi pemandangan menarik untuk diperhatikan. Namun, saat dirinya sudah mengumpulkan keberanian, dia membuka bibir untuk meminta maaf. Belum juga kata 'Saya' selesai diucapkan, ia terkejut mendapati Gallendra bicara di saat bersamaan.
"Silakan Mas Gallend dulu aja."
Lama Gallend merespon, hingga akhirnya berkata dengan senyum geli yang tidak bisa ditahan. "Sampai sekarang saya enggak ngerti. Kenapa tadi kamu mukul kepala saya?"
Tubuh Arum menegang. Perlu lima detik untuknya bisa bersuara. "Se-sebelumnya, saya minta maaf, Mas. Saya salah. Tapi itu beneran refleks gitu aja, kaget soalnya lihat ada cowok di atas tubuh saya."
"Memangnya kamu kira saya mau ngapain?"
"Saya pikir Mas mau macam-macamin saya."
Gallend tercengang. Kemudian tertawa pelan sembari berkata, "Kalau saya mau macam-macam ke kamu, ngapain juga harus di dalam lift yang banyak ditonton orang? Saya punya kamar yang lebih bagus buat dijadikan tempat pelepasan, Mbak Arum."
Kening Arum mengerut. Ini kenapa Gallendra mengalihkan pembicaraan. "Pelepasan apa?" tanyanya.
"Pelepasan saya lah!"
"Emang apa yang mau Mas Gallend lepasin?"
Seketika, Gallendra melongo dengan pertanyaan polos yang terucap dari gadis di sebelahnya.
Tadi, dia mengira Arum akan mengerti. Dirinya sedang membahas tentang ereksi. Tapi, kok?
Hey, Arum perempuan dewasa, kan?
"Yah.. sesuatu." Gallend mengusap tengkuk. Bingung. "Sesuatu itu yang mau dilepasin."
Arum menggaruk pelipis. "Sesuatu itu apa, toh? Saya enggak ngerti."
"Sesuatu itu yaaa... itu. Masa kamu enggak tau, sih?"
"Jangan nuduh saya bodoh karena enggak tahu, ya, Mas. Pasti Mas aja yang pikirannya buntu, tuh. Dari tadi ini-itu-ini-itu terus kayak kaset macet."
"Saya enggak mungkin juga bilang secara gamblang tentang itu, Rum."
"Lho, kenapa juga enggak bisa dijelasin itu, tuh, apa?"
Gallend berdecak kesal. "Sebentar.. ini bisa enggak sih, kita enggak bahas masalah itu itu mulu?"
Arum terdiam. Lalu mengangguk Dia baru saja minta maaf, masa' mengajak bertengkar lagi?
"Ngomong-ngomong, Saya minta maaf, ya." Suara Gallend membuatnya menatap Gallend kembali.
"Untuk?"
"Buat kamu kaget dengan posisi saya kemarin. Tapi sumpah, saya cuma ingin nolong kamu aja. Kenapa disalahpahaminya jauh banget sampai kena gampar?"
Arum meringis. "Refleks, Mas. Kirain Mas mau mesum-mesumin saya. Jadi, yah.. spontan."
Selain berdecak, kali ini Gallend juga bergeleng-geleng, tidak habis pikir. "Emang tampang saya tampang mesum?" tanyanya iseng.
"Iya."
Seketika Gallend menyesal memilih pertanyaan itu. Ia terdiam. Begitu pun Arum, yang baru lima detik setelah berucap spontan, gadis itu menepuk keningnya sendiri dan meringis.
Dia salah ucap lagi!
KAMU SEDANG MEMBACA
Precious Stage
RomanceBagi Arum, Gallendra adalah buaya buntung berwujud manusia! Dia pria hidung belang yang pernah Arum temui di sepanjang sejarah hidupnya. Dalam sehari, Arum bisa memergoki Gallend bermesraan ratusan kali dengan cewek beda di mana saja. Dan kapan saja...