Ada yang salah dengan perutnya. Arum merasa mual untuk alasan yang tidak ia tahu, minuman pesanannya tadi bahkan hanya mampu ia habiskan setengah. Meski sensasi hangat melegakan tenggorokan, tapi dia yakin minuman itu memberi efek pada perutnya; ingin memuntahkan segala isi di dalam.
"Pelan-pelan, Gun." Arum berkata lirih pada Guntoro yang berjalan dengan satu tangan melingkari leher Arum. Langkah pria itu sempoyongan, bibirnya terusnya meracau menyebut segala nama artis yang dia suka dan dihalukannya sebagai calon istri di masa depan.
Berusaha keras menahan berat bobot tubuh Guntoro yang serasa hampir mematahkan lehernya, Arum mencoba terus melangkah menuju pintu keluar bar. Gadis itu menghela napas teramat lega saat berpapasan dengan Rumi.
"Kalian ke mana aja, sih? Acara kembang apinya bentar lagi dimulai-"
Belum tuntas ucapannya, tanpa persiapan, tubuh Rumi malah ikut-ikutan terhuyung ketika tubuh Guntoro beralih ambruk ke hadapannya, membuang gadis itu terperanjat kaget. "Lho, lho.. kenopo cah kui? [1]"
"Guntoro mabuk." Jawab Arum dengan napas tersengal.
Mulut rumi menganga, sementara Arum baru bisa bernapas lega. Setelah lebih tenang, ditatapnya Guntoro dengan raut cemas. "Kayaknya dia mabuk berat, Mi."
"Ya Gusti! Bisa-bisanya lagi kerja malah minum alkohol nih orang!" Rumi berdecak kesal, menatap kepala Guntoro yang sudah menumpukan kening di bahunya. "Ya udah, biar aku aja yang urus dia, Rum. Nanti aku minta izin ke Bu Paranita buat ngizinin dia pulang duluan. Udah mabuk gini juga, mana bisa kerja lagi."
"Kamu antar?"
Rumi menggeleng. "Aku minta tolong ke Abid aja."
Arum mengangguk setuju. Dia baru akan bergerak untuk membantu Rumi menyeimbangkan posisi Guntoro, tapi gadis itu lebih dulu menahan lengannya. "Rum, aku minta tolong, dong. Tolong cari Pak Gallend di resto ya."
Ucapan Rumi bagai sambaran petir menyapa. Arum butuh beberapa detik untuk akhirnya mampu menguasai kesadaran dan bertanya, "Ke-kenapa cari Pak Gallend, Mi?"
Wajah Rumi kelihatan bingung, Arum jadi tidak tega menolak.
"Mbak Laras tadi minta tolong ke aku sebenarnya. Tiba-tiba aja dia ketemu klien penting Mahameru Production di bawah. Katanya klien itu mau ngobrol sama Pak Gallend sekarang. Penting."
"Te-terus?"
"Masalahnya Pak Gallend tadi pergi ke resto, Rum. Mbak Laras udah hubungi beliau dari tadi, tapi enggak diangkat-angkat. Kamu bisa, kan, gantiin aku ke sana?"
Tanpa bertanya pun, Arum tahu akan lebih tepat bila Rumi yang mengantar Guntoro pada Abid, sebab gadis itu kekasihnya. Wajar saja, Rumi meminta bertukar tugas.
Pada akhirnya, Arum mengangguk. Pasrah. "Oke."
*
Pukul sebelas malam, biasanya di jam tersebut restoran D'Amore Hotel yang berada di lantai sembilan tidak dipenuhi banyak orang. Namun, malam ini berbeda. Masih ada beberapa puluh pengunjung yang datang.
Mungkin, karena resto memiliki rooftop sebagai tempat yang leluasa dan indah untuk melihat pemandangan langit Jogja, banyak pengunjung ingin menghabiskan menit-menit pergantian tahun baru di restoran ini, selain taman hotel yang dijadikan tempat gala dinner digelar.
Arum membuka pintu kaca yang menghubungkan area dalam resto dengan rooftop. Sejak tadi matanya tidak juga menemukan keberadaan Gallendra.
Lelaki itu ke mana, sih? Apa sudah turun duluan?
Semilir angin langsung menerpa wajah Arum begitu ia berdiri di tengah-tengah rooftop, dekat kolam berenang di samping bar kecil resto.
Biasanya, setiap ke restoran di malam hari, Arum paling suka berada di sini. Dari sini, ia bisa melihat temaram lampu yang mengelilingi lantai bar, berpadu apik dengan temaram suasana malam jogja. Tentu sembari bersantai menghabiskan makanan atau minuman.
Tapi, malam ini.. Arum tidak bisa menikmati keadaan. Hatinya ketar-ketir dengan fakta bahwa ia akan bertemu Gallendra-yang beberapa saat lalu terlihat marah entah karena apa.
Arum menghela napas saat tidak kunjung menemukan Gallendra. Saat akan berbalik hendak menuju ke dalam resto lagi, tubuhnya membeku.
Jauh di ujung kanan rooftop, Galllendra berdiri dengan dada bersandar pada pagar pembatas yang terbuat dari kaca. Kepalanya melewati pagar dengan menunduk dalam. Sekali saja ada yang mendorong kuat tubuhnya, Gallend pasti terjungkal jatuh ke bawah gedung.
Terbersit satu kemungkinan, Arum membeliak. Secepat kilat ia berlari menuju Gallendra. "Pak Gallend, jangan mati dulu, Pak!" pekiknya.
Dan, semua terjadi begitu cepat.
Arum menarik tangan Gallendra untuk menjauh dari pembatas, tubuh lelaki itu berputar menghadapnya lalu tanpa bisa dicegah, membentur tubuh kecil Arum hingga keduanya jatuh ke lantai rooftop yang dingin.
Sialnya, bibir Gallend jatuh tepat di tempat yang tidak semestinya. Bibir Arum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Precious Stage
RomanceBagi Arum, Gallendra adalah buaya buntung berwujud manusia! Dia pria hidung belang yang pernah Arum temui di sepanjang sejarah hidupnya. Dalam sehari, Arum bisa memergoki Gallend bermesraan ratusan kali dengan cewek beda di mana saja. Dan kapan saja...