54✔️

7K 1.1K 144
                                    

Sebelum baca vote dulu yaaa

Bila ada kesalahan dalam penulisan boleh tandai dikolom komentar

↠↠↠↠↠↺↞↞↞↞↞

Louis mencoba untuk berbicara pada Madeline. Ia merindukan adiknya. Sangat-sangat rindu.

"Madeline kenapa kau tidak ingin makan? Kau bisa jatuh sakit." Louis berbicara dengan nada paling lembut, namun itu masih terdengar memuakkan bagi Madeline.

Gadis itu terus terdiam, sesekali matanya menyorot tajam memberi batasan. Louis merasa begitu jauh meskipun adiknya berada didepan matanya.

Louis mendudukkan dirinya ditepi ranjang sang adik.

"Jangan seperti ini Delina, apa yang harus aku lakukan? Kau marah padaku? Hukum aku kalau begitu, jangan seperti ini."tutur Louis dengan putus asa.

Kali ini Madeline berbalik. "Aku akan menghukum kalian semua."sahut Madeline, ada senyum tipis yang terpati dibibirnya. Namun itu tidak membuat Louis senang.

Ia justru merasa takut. Ada pikiran negatif yang tiba-tiba bersarang begitu saja.

"Madeline, aku mengkhawatirkan mu. Jangan bertindak seenaknya, kau terlalu sering membuat ku merasa takut. Aku benar-benar takut kehilanganmu adik." Louis mengusap surai hitam Madeline dengan lembut.

Namum sang empu langsung menepisnya kasar.

"Pergi."

Madeline membalikkan badannya kembali, memunggungi Louis yang menatap nanar tangannya yang baru saja dihempaskan dengan kasar.

"Yang harus kau tahu, aku menyayangimu. Aku tahu semua penderita mu—"

"Kau tidak pernah tahu apapun! Jangan berlaga seperti seorang Kakak yang baik, karena itu terdengar konyol!" Madeline berteriak memotong ucapan Louis.

"Madeline, aku sungguh-sungguh menyayangi mu! Maaf, maaf untuk semua rasa sakit yang kau alami sendiri. Tapi sekarang ada aku, Kakak mu."Louis mencoba untuk menarik kembali adiknya. Ia benar-benar ingin memperbaiki semuanya.

"Semua itu sudah terlambat Kak."gumam Madeline dengan lirih.

Louis menggelengkan kepalanya. "Tak ada yang terlambat adik, kita mulai lagi dari awal ya? Kita bangun keluarga harmonis yang kau impikan." Louis hendak memegang tangan Madeline, namun ia urungkan.

"Pergi kak, ku mohon, aku butuh waktu." Madeline meminta dengan penuh penekanan.

Louis menghela nafas lalu beranjak dengan lesu, dan setelah terdengar pintu kembali tertutup tangis pelan Madeline pecah.

Mengapa tidak dari dulu, mengapa baru sekarang mereka memperlakukan dirinya dengan sangat baik. Madeline mengeratkan cengkramannya pada guling.

Tangis itu terdengar pilu, Madeline tak ingin menjadi lemah. Dengan tubuhnya yang lemah Madeline bangkit dari posisi tidurnya.

Ia berjalan kearah laci dipojok ruanganan. Hal yang begitu indah mulai membayang, ia membuka laci itu dengan perlahan sebuah botol kecil dengan cairan Semerah darah membuat Madeline tersenyum.

Hadiah ulang tahun ke-7 dari Carlos.

Sungguh sangat baik Kakaknya itu. Sebuah racun tanpa penawar. Bukankah itu hal hebat yang perlu diapresiasi? Racun yang akan bekerja dengan lambat namun mematikan.

Madeline tanpa ragu mengambil botol racun tersebut. Tangan gadis itu sedikit gemetar sebelum akhirnya berhasil membuka dan meneguk isi botol tersebut.

Rasa panas, pahit yang luar biasa. Benar-benar mendominasi lidahnya saat ini. Madeline tersenyum puas, hanya tinggal menunggu waktu dan semuanya akan benar-benar selesai.

↠↠↠↠↠↺↞↞↞↞↞

Rafelina menatap tajam kearah gadis bersurai putih, aura anggun dan suci begitu terpancar dari diri Michelina. Gadis bersurai hitam itu tersenyum sinis.

Tangan Rafelina dengan nakal menjambak rambut Michelina.

"Jalang sialan, aku peringatkan untuk pertama kalinya untuk menjauhi Matteo, kau jelas tak pantas dengan dirinya."bisik Rafelina tepat ditelinga kiri Michelina.

Michelina meringis.

Michelina membela diri, ia menepis kasar tangan Rafelina. "Aku tidak pernah mendekati putra mahkota! Ambil saja untuk mu, Aku tidak pernah menyukai dia barang sedikit pun." balas Michelina.

Rafelina hendak mendorong Michelina, namun Michelina yang memang lebih sigap. Langsung menyerang dengan menggunakan kekuatannya.

Tubuh Rafelina terhempas cukup jauh.

"Rafelina!"

Teriakan Matteo dari belakang membuat Michelina tersadar. Ia menutup mulutnya saat melihat kondisi Rafelina yang mengenaskan.

"Apa yang kau lakukan Michelina?!" Matteo berteriak marah, pemuda itu langsung menggendong tubuh Rafelina dan membawa pergi.

Michelina mematung, air mata mengalir begitu saja saat mengingat bagaimana Matteo membentaknya.

"Aku tidak sengaja, aku—" tenggorokan Michelina terasa tercekat, gadis itu berlari menjauh pergi tanpa arah tujuan yang jelas.

Kali ini ia merasa berbeda. Ada rasa begitu memuaskan dan sakit yang luar biasa saat Matteo memarahinya tanpa tahu yang sebenarnya.

Tangan Michelina tiba-tiba dicekal, dan gadis itu berharap besar bahwa lengan kekar yang menahannya adalah Matteo.

Namun saat dirinya berbalik, mata violet milik Sean bertubrukan dengan manik semerah darah miliknya.

Dan kali ini Michelina merasa benar-benar kecewa.

"Kau baik-baik saja?" Nada bicara Sean terdengar lembut namun tak menghilangkan kesan maskulin pemuda itu.

Michelina hanya menggeleng. Sean tahu betul gadis itu sedang tidak baik-baik saja, tangan pemuda itu terulur lalu melingkar dipinggang Michelina.

Ia merangkul gadis tersebut kedalam pelukannya. Michelina tak menolak, gadis itu diam dengan tubuh kaku karena perlakuan Sean.

"Jangan sedih. Aku masih bisa menjadi tumpu mu jika kau benar-benar lelah." Sean membisikkan itu.

Michelina yang mendengar itu mulai menangis, tangannya ikut terulur membalas peluk dari pemilik mata violet tersebut.

↠↠↠↠↠↺↞↞↞↞↞

Komen sebanyak-banyaknya nyaa

Pendukung Happy Ending mana?

Pendukung Sad Ending mana?

Follow akun Wattpad aku juga yaa!
rbilqisasiah

THE DUKE'S TWIN DAUGHTERS ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang