September, 2015
Badan Rose sontak tersungkur begitu saja ke dalam empuknya chaise coklat muda yang nampak masih begitu baru padahal sudah dua minggu berada di apartemennya yang kini mulai merasakan hawa dingin berkat air conditioner bukan karena cuaca Melbourne yang emang lagi musim dingin.
Wajahnya itu nampak dipenuhi oleh bulir - bulir air yang berasal dari pori - pori terdalam dari kulit tubuhnya, bahkan baju putihnya itu juga nampak begitu basah dan kini mulai beranjak mengotori kulit sofanya.
Dan kini yang Ia lakukan hanyalah mengerjapkan matanya itu, menatap kosong langit - langit di apartemennya dengan deru nafas yang sedari tadi nampak belom juga normal dan badan yang beneran tidak bisa digerakkan.
Meskipun pada nyatanya, Ia berhasil membuat apartemennya itu beneran kinclong banget seperti baru. Namun, Ia beneran tidak mendapatkan rasa senang. Malahan, Ia merasakan begitu sesak di dadanya.
Sudut matanya kini dipenuhi segerombolan air mata yang kini berlomba keluar menghiasi seluruh wajahnya yang tak dapat Ia hentikan bahkan yang ada, Ia semakin mengencangkan tangisannya dengan tangan yang menepuk - nepuk dadanya kasar.
Entah mengapa rasanya dua minggu ini rasanya berat banget, jauh dari rumah. Segala sesuatu Ia lakukan sendiri. Bahkan Ia juga tak pernah menyangka jika kepergiannya kesini sama dengan memaksa dirinya sendiri untuk hidup mandiri.
Okay. Awalnya Rose emang sok - sok an menolak untuk diberikan Maid karena merasa Ia mampu, tapi semakin kesini, Ia baru sadar jika hidupnya itu tak berarti apa - apa tanpa adanya pelayan yang selalu siap sedia melayaninya.
Seketika di pukul dua belas lebih tiga puluh menit menurut jam yang terpaku di jam dindingnya itu, Ia merasa menjadi sosok yang tidak berguna. Manusia yang hanya bisa mengandalkan makhluk lainnya.
Perasaan menyesal kini menggerayangi dirinya, di tengah tangis yang belom juga reda dan pikiran yang begitu berantakan. Ia tidak tahu harus berbuat apa, bahkan ketika Ia mendengar suara pintu apartemennya Ia tak memperdulikannya.
"Waw, sudah bersih ternyata. Kupikir kamu masih bersih - bersih" Rose masih saja terdiam dengan air matanya yang masih tak mau berhenti menggenang di mukanya "Bersih banget apart kamu, Rose. Kayaknya minggu kemaren pas aku bantuin ngga segini bersihnya deh"
"Wah, beneran ini bers—sayang?" Derapan langkah kaki itu bergerak mendekatinya dengan sedikit terburu - buru sebelum berjongkok di bagian pinggiran sofanya "Kamu nangis? Kenapa? Kok tiba - tiba nangis?"
Bukannya menjawab, tapi Rose malah mengencangkan tangisannya "Kamu kenapa? Ada masalah? Kok ngga cerita sama aku?" kepalanya itu sontak menggeleng, bahkan ketika Ia merasa sebuah belain bersemayam di tangannya Ia juga tak berhenti.
"Yaudah kalau masih mau nangis, nangis aja biar lega. Aku tungguin sampek kamu selesai" Ia terdiam tak menjawab, sampai tak lama Ia merasakan salah satu tangannya itu digenggam dengan rambut yang diusap secara perlahan.
Menyalurkan rasa tenang yang hebatnya dapat membuat tangisannya itu perlahan mulai beranjak berhenti, bahkan Ia kini mulai berani menolehkan wajahnya itu ke samping kanan. Menghadap lelaki yang menyambutnya dengan senyuman manis dan dua lubang pipi tercetak jelas di sana.
"I'm fucking useless"
"Hah?!" Lelaki itu nampak terkejut dengan perkataannya, bahkan usapan di kepalanya itu tiba - tiba berhenti begitu saja "Kok ngomong gitu? Kamu ada masalah apa sampek bisa ngomong gitu?"
Rose menggelengkan kepalanya, kemudian sontak Ia membangkitkan dirinya itu. Merubah posisi tubuhnya menjadi duduk dengan dua lututnya yang Ia tekuk dan Ia peluk sebelum kepalanya itu menunduk "Pengen pulang" Rengeknya lirih yang masih sedikit terdengar oleh Jeffrey.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bliss
FanficSequel of Opposite attract Oneshoot story of the moment that aren't mention in Opposite attract. ⚠️ Contain of uwunes 100/10 ⚠️ Some chapter are containing mature content ⚠️ Please be wise reader. You can read this without read opposite attract but...