Fiona sempat berharap bahwa di pusat kota dia akan menemui peradaban yang masih berlangsung sedikit normal. Manusia berdampingan erat dengan petugas keamanan dan pagar beton yang membatasi antara yang hidup dan mati. Namun, ternyata dia salah.
Melihat kota yang seakan berubah menjadi latar film bertema kehancuran dunia, menakutkannya. Hingga kedua kakinya seakan membeku dan aliran udara berhenti sampai di kerongkongannya.
Tidak yakin bisa menekan pedal gas dengan stabil, dia menghentikan sedan di belakang truk besar yang melintang di tengah jalan. Dia kemudian mengedarkan pandangan untuk melihat kekacauan dengan mata membesar penuh kengerian.
Potongan tubuh tercecer tanpa pemilik. Mayat hidup dengan aneka luka menganga mengembara dalam jumlah lebih banyak di jalan raya yang diapit gedung perkantoran.
Hanya ada lima manusia hidup yang terlihat sibuk melarikan diri menghindari gerak sembrono sang zombi. Beberapa darinya tidak berhenti meneriakkan ketakutan dan kesakitan yang dialami, sementara sisanya memilih diam dan terus mencari tempat aman untuk berlindung.
Termasuk di antaranya pria setengah baya yang tiba-tiba menggedor jendela kendaraan.
"Tolong izinkan aku masuk. Mereka tidak mengigitku," teriaknya penuh putus asa dari luar.
Mundur ke sudut bangku, Fiona menatap bimbang pria yang perlahan wajahnya berubah kebiruan. Berkali-kali dia merenggangkan tangannya yang mulai tremor untuk membuka pintu penumpang, tetapi ditariknya kembali. Bimbang apakah dia harus menolong atau membiarkannya menjadi santapan para zombi yang kini berebut mendekatinya.
"Tolong! Aku belum mau mati!" Pria itu sempat menoleh dan menatap takut gerombolan zombi yang cepat mengikis jarak dengannya.
Getaran halus terasa sampai ke dalam sedan hitam, entah berapa banyak mayat hidup yang berbondong-bondong mendekat, dia tidak tahu. Yang pasti lebih dari belasan zombi.
"Kumohon, tolong ak—" Tiba-tiba zombi berjas biru muda melompat ke tubuh tegapnya, bergelantung di leher, dan mulai merobek otot bahunya. "Argh!"
Teriakan menggema, jejak telapak tangan berdarah menempel memanjang ke bawah bersamaan dengan jatuhnya tubuh pria itu. Mobil bergoyang kasar akibat tubrukan serta dorongan para zombi yang tengah berebut makanan, dan geraman haus darah terdengar menyeramkan.
Fiona tidak lagi bisa menahan mulut dan mulai berteriak keras dengan kedua tangan menutup telinga serta mata terpejam. Pundaknya bergetar. Tangis bercampur air liur tidak berhenti menetes dari ujung dagu dan membasahi pakaian.
Melihat dari kejauhan jelas berbeda sensasinya dengan menyaksikan dari jarak dekat. Kerakusan dan kekejaman terasa lebih nyata. Mereka tidak ragu-ragu mengunyah tubuh hidupnya dan mengubah pria itu menjadi salah satu dari mereka.
"Maafkan aku. Maafkan aku. Maafkan aku!" ucapnya lirih dengan suara gemetar.
Rasa bersalah menumpuk dan membebani hatinya, dalam ketidakberdayaan itu rasa menyesal menyisip masuk. Kenapa juga dia harus meninggalkan rumah nyaman itu? Andai dia mau bersabar sebentar mungkin petugas penyelamat akan datang dan mengeluarkannya dari neraka ini.
Suara benturan yang lebih keras membuat tubuhnya menjengit. Perempuan beriris gelap itu membuka mata dan melempar tubuhnya ke sisi lain saat melihat mereka bergerombol di sisi jendela pengemudi dan mulai membentur-benturkan kepala.
"Tinggalkan aku!"
Ancaman demi ancaman datang. Kini mereka yang sudah kenyang kembali berdiri dan memamerkan mulut penuh darah kepada perempuan di dalam mobil.
Aku harus pergi dari sini! pikirnya sambil kembali menggeser pantatnya ke kursi pengemudi dan mendorong persneling ke gigi mundur
Mesin menderu kencang, decit ban kembali menggesek aspal serta membawa debris kerikil dan asap kendaraan di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Run!
Mystery / ThrillerBUKU PERTAMA Genre : action, thriller, sci-fi, minor romance. R-18 : blood, gore. Ledakan terjadi di instalasi penyakit menular di gedung kesehatan di kota Arkala. Sebuah virus yang tengah diteliti di dalam fasilitas kesehatan teraman di kota akhirn...