Bab 34

950 192 17
                                    

"Tiga."

Hitungan mundur yang diteriakkan Prof Gorgo dari tangga, menutup gedoran yang riuh menggetarkan gendang telinga.

Saat ini Gama berdiri di depan pintu masuk dengan pistol terancung dan sebuah pisau bersiaga di tangan lainnya. Entah sudah berapa puluh zombi yang dibunuhnya, tetapi baru kali ini kegelisahan menyerang percaya dirinya. Tangannya yang berkeringat dan detak jantung yang memacu sedikit cepat menyadarkannya kalau dia tetap manusia biasa yang bisa merasa takut.

Bukan takut akan kematian, tetapi dengan kegagalan yang mengancam di depan mata.

Netranya menatap Troy yang berdiri menggenggam daun pintu dan kayu besar bertabur paku di tangan yang berbeda. Tatap mata yang menyorot tajam memperlihatkan kesiapannya. Sedangkan Minsana yang berdiri di belakangnya, terus meremas kedua tangannya. Tampak ragu mengambil alih tugas sang tentara untuk menutup pintu ketika tiba saatnya dia keluar.

"Dua."

Pandangannya kemudian beralih ke Fiona yang berada di sisi pintu lain, tampak tenggelam dengan ketegangannya sendiri. Kuku tangan yang berubah putih akibat mencengkeram kuat ganggang pintu dan fokus mata berlarian ke mana-mana. Dia jelas butuh seseorang untuk menenangkannya. Dan sayang, orang itu bukan dia. Untuk saat ini.

"Satu!"

Himo yang bersiap di lantai dua, segera melempar meja kayu ke arah jendela. Kaca tebal transparan itu bersebaran menjadi serpihan yang berdenting memekakan telinga.

Tali yang sudah disiapkan dilemparnya melewati jendela. Tidak memedulikan sisa kaca yang masih menempel di pinggiran jendela, Himo melompat keluar dan bergelayutan sembari melepaskan satu tembakan.

Timah panas meluncur nyaris tanpa suara dan menembus kepala salah satu zombi, membawa percikan darah ke wajah yang lainnya. Bak mendapat undangan makan siang, mereka berduyun-duyun, saling mendorong, ke tempat Himo bergelantung.

"Keluar!" Satu teriakan, dan pintu terbuka dari dalam.

Gama muncul dengan acungan pistol, tetapi tidak ada bising letupan senjata yang terdengar seperti biasanya. Karena alih-alih menggunakan senjata api, dia memilih memakai pisau untuk membunuh mereka. Semua dilakukan supaya tidak menarik perhatian zombi lainnya masuk ke gang sempit ini.

Setelah kedua tentara keluar, Minsana dan Fiona segera menutup pintu hotel serta menahannya menggunakan beban tubuh mereka. Sementara itu, Prof Gorgo lanjut berjalan ke lantai dua untuk mengawasi gang melalui jendela yang pecah.

"Aku Dan tiga di karateka. Aku rasa tidak sulit membunuh mereka tanpa senjata api, asal kita bisa menjaga jarak dengan mulut mereka." Gama mengingat kembali pembicaraannya dengan tentara lain di atap.

Bak pembunuh mengincar korban, sang pimpinan mengendap ke zombi di barisan belakang dan menghunjamkan pisaunya ke kepala. Suara retakan terdengar. Darah merah keunguan mengalir diikuti gumpalan putih menjijikan, sebelum akhirnya sang mayat hidup kehilangan nyawa untuk kedua kalinya.

Kakinya lanjut melayang menyepak kepala zombi lain yang sadar akan kehadirannya. Suara dhuak yang keras terdengar saat kepala pria dengan luka menganga di dada itu membentur dinding.

"Aku tidak punya gelar semacam itu. Tapi aku pemegang medali emas dua kali berturut-turut di lomba bela diri yang rutin diadakan akademi," ucap Troy dengan dada membusung.

Melihat kawannya sudah sibuk dengan beberapa zombi. Troy yang keluar belakangan, melangkah ringan. Suara kayu bergesekan dengan udara, mengalihkan sebagian perhatian mayat hidup. Dan ketika jarak bukanlah halangan, bak pemain kasti profesional, dia mengayunkan dengan kencang ke kepala beberapa zombi sekaligus.

Run!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang