Bab 36

933 205 14
                                    

Fiona tidak menyangka dewa kesialan masih membuntuti sampai sejauh ini. Setelah terbangun di waktu yang salah dan di tempat asing. Dia harus berkelana menantang maut bersama sekumpulan pria yang salah satunya menggerus emosi. Lalu sekarang ini! Kenapa semuanya justru semakin sulit di saat jarak tinggal selangkah lagi?

"Kenapa tidak dicek dulu bensinnya sebelum berangkat tadi!" kesal Troy sambil menggedor jendela depan bus.

"Aku sudah tahu bensin hanya tersisa seperempat. Cuma kondisi tadi tidak memungkinkan kita untuk mengumpulkan bensin dari kendaraan lain. Dan ini bus, cc-nya besar! Apa kalian berharap kita bisa menghemat bahan bakar?" balas Himo sedikit kesal. Dia jelas tidak ingin disalahkan secara sepihak, terlebih bukan dia yang menginginkan kendaraan besar ini.

"Kita bisa ganti kendaraan saat itu juga!" teriak Troy.

"Dan mati dimakan zombi!" Masih mengemudi, Himo balas berteriak.

"Berhenti saling menyalahkan." Gama berusaha menengahi. "Himo, berapa sisa bensinnya?"

"Melihat garis sudah mencapai E, bus ini tak lama lagi akan berhenti," balasnya masih dengan pandangan lurus ke jalan.

"Jarak ke bandara?"

"Tidak sampai enam kilometer lagi."

"Bensin segitu cukup?"

"Tiga kilometer dan bus masih bisa jalan, aku akan mulai berdoa setiap malam," jawab Himo satire.

"Lalu, bagaimana ini! Kita tidak mungkin turun di sini dan berganti kendaraan, bukan?" panik Minsana.

Prof Gorgo yang tak lagi punya tenaga untuk berkeluh kesah hanya bisa menyandarkan tubuh rentanya ke kursi dan menutup kedua mata. Sementara, Fiona yang masih duduk di belakang, memilih berdiam diri sambil memeluk tubuhnya. Sesuatu jelas mengganggunya, dan masalah bensin tidak lagi dipedulikan.

Gama mengedarkan pandangan ke sekeliling. Walau bus melaju konstan di kecepatan enam puluh kilometer per jam, tetapi ada beberapa zombi yang masih bisa mengekor dan melempar tubuh mereka ke badan bus. Seakan kendaraan besar ini sejenis makhluk hidup yang bisa mereka kunyah. Padahal ia hanya akan membubur mereka dalam satu lindasan.

"Memang tidak mungkin, Nona." Gama kemudian mengeluarkan teropong dari dalam tas. Matanya bergulir mengikuti gerak kepala. Tidak banyak yang bisa dilihat satu kilometer ke depan selain gerombolan mayat hidup dan jejeran kendaraan bermotor yang tidak lagi menarik perhatiannya.

Sepertinya sudah cukup mereka berpindah-pindah kendaraan. Andai jalanan tidak penuh dengan mayat hidup, dia bisa saja meminta mereka semua turun dan meneruskan perjalanan menggunakan kaki. Namun, hal itu sama saja mengantar mereka semua langsung menemui malaikat pencabut nyawa. Dia harus mencari alternatif lain untuk sampai ke bandara.

"Melihat sesuatu?" tanya Himo. Matanya terus melirik lampu kecil yang terus menyala merah di dashboard. "Waktu kita sudah tidak banyak."

"Himo, Troy, kalian ada yang tahu jalan air menuju bandara?" tanya Gama tiba-tiba saat matanya membaca tulisan Pantai Pelangi di salah satu petunjuk jalan.

"Jalan air?" Kening Troy mengernyit dalam.

"Maksudmu laut?" Himo mempertegas pertanyaan Gama.

"Betul. Kalau tidak salah ingat ada pelabuhan laut yang hanya berjarak satu kilometer dari bandara." Gama menyegarkan pikiran mereka yang berkabut.

"Maksud Sersan, pelabuhan Arkala? Kita bisa lewat sana?" celetuk Prof Gorgo.

"Betul, Prof." Gama mengiyakan tebakan sang profesor.

"Kenapa memangnya? Kamu mau berenang ke sana?" tanya Himo.

"Tentu tidak. Ngomong-ngomong, Himo belok ke kanan di perempatan depan." Gama menunjuk ke jalan besar yang di bagian tengahnya mobil-mobil saling beradu dan menumpuk bak balok domino.

Run!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang