Satu petarung hebat meninggalkan nama di medan perang. Tidak ada sisa jasad yang bisa dibawa pergi, hanya kenangan yang tertinggal di masing-masing memori.
Himo menambah daftar pahlawan yang mungkin tidak akan diingat lama, lebih-lebih ditangisi dunia beserta isinya. Hanya segelintir orang yang akan mengingat segala kebaikan yang pernah dilakukan.
Gama dan Troy yang sadar akan buruknya situasi, tidak punya waktu untuk berkabung. Bukan berarti tidak ada kesedihan di hati mereka. Tidak, karena dalam diam, mata mereka mati-matian membendung air mata dan otak melawan pikiran yang terus memainkan ulang memori kebersamaan singkat dengan Himo.
Berbeda dengan para sersan, Fiona terang-terangan menumpahkan kesedihannya. Matanya meradang merah dan kelopaknya sembab. Hidungnya terus mengeluarkan lendir yang terus digosok kasar hingga kemerahan. Dia benar-benar terpukul dengan kematian Himo.
Walau kaki Fiona melangkah ke depan, tetapi pandangannya selalu tertinggal di belakang. Dia berharap akan menemukan keajaiban dan melihat tubuh pucat Himo mengekor mereka. Sampai akhirnya dia tidak lagi fokus, dan dia tersungkur saat kakinya terantuk tepi peti kemas ketika mendarat.
"Fiona, kamu tidak apa-apa?" tanya Gama khawatir. Walau dia berjongkok sama tinggi, tetapi pandangan mereka tidak juga bertemu.
Perempuan itu terus tertunduk. Telapak tangan yang menempel atap peti kemas mencekit kepanasan. Lututnya berdenyut nyeri, tetapi semua itu tidak juga menggantikan kesedihannya. Isak tangis Fiona tetap terdengar mendayu-dayu.
"Hentikan itu, Nona! Kamu pikir hanya kamu yang sedih di sini. Kami semua begitu, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk kamu bersikap melankolis!" teriak Troy kesal.
"Troy, jaga mulutmu!" Gama berdiri dan menegur kawannya.
"Apa! Jaga mulutku? Kamu yang harusnya menjaga mulut dan perasaanmu! Kamu tahu benar kalau ini bukan waktunya untuk berduka. Lalu, kenapa malah membela dia! Bukannya kita sedang dikejar-kejar waktu!" Wajah Troy kembali memerah bak kepiting rebus. Jarinya menunjuk-nunjuk wajah Gama yang rahangnya menggeretak tegang.
"Troy!" teriak Gama dengan nada tinggi.
"Fiona ...." Minsana berlutut dan mengelus lembut punggungnya yang bergetar. Satu-satunya orang yang bisa menjaga intonasi suaranya.
"Aku lelah. Tinggalkan aku!" sembur Fiona. Tangannya menolak segala bentuk kebaikan dari Minsana. Kepalanya diangkat dan matanya menatap nyalang ke arah Troy.
"Kamu pikir kami semua tidak lelah! Dasar wanita egois, seharusnya kami tidak menyelamatkanmu!" Lagi-lagi Troy mengembalikan semua omongan Fiona sama ketusnya. Semua kejadian ini tidak lagi membuatnya berbaik hati dengan menahan sedikit emosinya.
"Guys, aku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk bertengkar." Minsana mencoba menengahi. Dia kembali bangkit setelah Fiona menepis tangannya.
"Aku tidak pernah meminta untuk diselamatkan. Kalau begini akhirnya, lebih baik kalian tinggalkan aku dan biarkan aku mati!" teriak Fiona.
"Hentikan ini! Troy, Fiona!" Kali ini Gama berteriak lebih keras dari mereka berdua. Sama sekali tidak memedulikan geraman zombi yang semakin ricuh di bawah kontainter tempat mereka berdiri.
Mereka semua membungkam mulut dan saling memandang penuh emosi, kecuali Minsana yang terlihat bingung dengan posisinya sekarang. Selama ini dia berpikir kalau dirinya sudah berhasil melebur ke dalam kelompok ini. Namun, nyatanya tidur satu kamar, berbagi selimut, tidak juga membuatnya tahu apa yang terjadi sebelum mereka bertemu.
Setelah tidak ada yang berbicara selama beberapa menit, Troy mendengkus keras dan memilih menjauh.
"Troy, jangan pergi. Kita selesaikan semuanya sekarang!" Gama mencoba menahan tangan kawannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Run!
Mystery / ThrillerBUKU PERTAMA Genre : action, thriller, sci-fi, minor romance. R-18 : blood, gore. Ledakan terjadi di instalasi penyakit menular di gedung kesehatan di kota Arkala. Sebuah virus yang tengah diteliti di dalam fasilitas kesehatan teraman di kota akhirn...