Bab 41

797 177 19
                                    

Ledakan kembali terdengar untuk kedua kalinya. Kali ini dentumannya lebih menggelegar hingga mengguncang tanah berpasir yang mereka pijak. Gelombang angin yang berembus kencang setelahnya bergulung menghempaskan tubuh mereka, membawa serta kerikil tajam yang mencabik kulit dan debu yang mengiritasi mata.

Dalam sekejap mereka dikelilingi asap yang membentang seakan tanpa batas.

Gama dan yang lainnya segera merunduk. Tangan mereka menutup kuat telinga, berusaha menahan suara keras yang seolah bisa merobek gendang telinga. Walau begitu, dentamannya tetap berhasil menyusup masuk dan menimbulkan bunyi denging bernada tinggi yang menyiksa pendengaran.

Minsana berteriak histeris. Pundaknya bergetar hebat, matanya terpejam erat, dia tampak gentar dengan apa yang akan terjadi berikutnya. Dia tidak akan pernah siap. Dia bahkan sempat berpikir untuk menyerahkan nyawanya supaya rasa takut berhenti meneror kewarasannya.

"Minsana, berdiri. Kita harus lari dari sini." Fiona menarik paksa tangan sang dokter yang masih menangkup telinga.

"Aku tidak mau. Tinggalkan aku!"

"Minsana!" teriaknya marah. "Ini bukan saatnya untuk menyerah, siapa yang akan membuat anti virusnya!" Fiona tidak menyerah dan terus menarik tangan Minsana.

"Nona, bangun!" Troy mengapit pinggang perempuan yang menolak berdiri menggunakan tangan dan mengangkatnya hingga kedua kakinya tegap menopang tubuh.

"Kita tidak ada waktu, lari!" perintah Gama yang kembali bangkit dengan susah payah.

Berlari menerjang kabut asap dan hujan debu yang menghalangi pandangan, beberapa kali Minsana hampir terjungkal akibat langkah gontainya sendiri. Beruntung tangan Fiona yang kuat menggenggam miliknya, mencegahnya terjatuh.

Berbeda dengan Minsana yang limbung, Himo justru merasakan kerongkongannya seakan terputus dari paru-paru, beberapa kali dia berhenti beberapa detik hanya untuk menarik napas. Namun, beratnya udara sekitar membuatnya tidak mampu memuaskan dahaga akan oksigen.

Tubuh yang sebelumnya sudah melemas kini memburuk. Perlahan penglihatannya kabur, otot-otot kecil di tungkainya mulai gemetar lelah, dan butiran keringat dingin mengalir deras dari pelipisnya.

Tubuhku tidak bisa menyerah sekarang, aku harus bertahan! batin Himo sambil mengepal kuat genggamannya. Memastikan kuku tajamnya membenam dalam ke telapak tangan dan mencetuskan rasa sakit yang bisa mengalihkan kelelahannya.

Sementara itu, Prof Gorgo yang masih menggelayut di punggung Gama mulai membuka mata. Walau kelopaknya terbuka lebar, tetapi tidak dengan kesadarannya yang dirasakan mengambang antara kenyataan dan mimpi.

Beberapa kali dia mengedip, saat warna merah sedikit demi sedikit merayap dari tepi lapang pandang dan memenuhi seluruh penglihatannya. Telinganya bahkan tidak lagi bisa mendengar jelas, seolah-olah ada kapas tebal menyumpal pendengarannya. Dia sadar waktunya tidak akan lama lagi.

Setelah berlari beberapa saat, Gama, Fiona, dan Minsana akhirnya berhasil lolos dari jeratan kabut asap.

Berhenti sejenak untuk memberi paru-parunya udara bersih dan kesempatan para gadis beristirahat, Gama menoleh ke belakang dan menyaksikan pemandangan yang jauh di luar ekspektasinya.

Kecuali rombongan para zombi yang berduyung-duyung lari ke arah mereka, tidak adanya potongan daging dan percikan darah mengherankannya. Karena dulu, saat mobil Fiona meledak di dekat para zombi, potongan tubuh menjijikan dan cairan lengket menghujani tubuhnya.

Siapa pun yang melempar bom, bukan ditujukan kepada para zombi, tapi untuk menarik perhatian mereka. Sial! Sepertinya aku harus segera menangkap si penembak misterius sebelum semuanya menjadi lebih buruk, geram Gama dalam hati.

Run!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang