Bab 40

856 181 16
                                    

Di saat matahari mulai menanjak dan memancarkan teriknya, mereka berkumpul di ruang tengah dengan ketidakpastian mengisi atmosfir.

Duduk dengan napas tersengal-sengal nyaris tanpa tenaga, Prof Gorgo sama sekali tidak terlihat lebih baik setelah semalaman beristirahat. Walau terlihat sama sekali tidak berdaya, tetapi mata merahnya terus mengancam mereka yang hidup.

Beberapa kali Troy menyentuh pistolnya saat suara seperti siulan melengking keluar dari sela bibir sang profesor. Jantungnya bahkan sering kehilangan ritme saat leher Prof Gorgo menggemeretak mengerikan.

Tidak hanya dia yang bersikap waspada. Himo yang berdiri goyah pun bersiap untuk mengambil pistol di pinggangnya, jika pria tua itu berubah.

Sedangkan, Gama tetap bersikap normal. Sepertinya perubahan Yona sudah memberinya sedikit pelajaran tentang bagaimana harus bersikap. Yaitu, tetap tenang dan siap menembak.

Fiona sendiri, walau mimik mukanya terlihat datar, tetapi tidak dengan benang pikiran yang menggelung kusut. Dia terus bertanya dalam hati, kapan waktu yang pas untuk menarik pelatuk? Apakah dia bisa melakukan kapan pun dia ingin, atau menunggu aba-aba dari sang pemilik nyawa?

Dia tidak bisa memutuskan.

Terlepas dari mereka berempat yang punya rencana mengakhiri hidup sang profesor, masih ada Minsana yang duduk setia di sampingnya tanpa ada sekelebat niat mengakhiri nyawa sang guru. Tangannya bahkan sibuk menyeka butiran keringat yang terus bermunculan membasahi leher dan wajah. Sepertinya dia tidak peduli dengan perubahan yang mungkin terjadi. Atau dia percaya bahwa gurunya tidak akan berubah dalam waktu dekat.

"Kalian siap?" tanya Gama memecah keheningan yang janggal.

Mereka yang awam saling berpandangan. Merasa tidak yakin kembali melakukan perjalanan berbahaya di luar sana. Walau suara geraman tidak terdengar, tetapi bukan berarti mereka tidak ada.

Namun, tidak adanya pilihan lain yang tersedia membuat mereka harus bersiap apa pun itu situasinya.

"Tidak perlu khawatir. Aku tadi pagi sudah melakukan sedikit penelusuran. Jalan yang akan kita lewati tidak terlalu banyak zombi. Mudah-mudahan teriknya matahari siang ini akan mengusir sebagian besar dari mereka," terang Gama berusaha membangun semangat kelompoknya.

"Tunggu, kamu keluar sendirian, Gam?" tanya Himo tidak percaya. "Troy, kamu tidak mencegahnya?"

"Apa menurutmu dia bisa dicegah? Lagi pula dia yang membelokkan kita ke sini, sudah seharusnya dia bertanggung jawab dengan mencari jalan yang aman untuk kita lewati," ujarnya sedikit kesal.

"Sudahlah. Bagaimanapun juga aku harus melakukannya, karena aku tidak ingin kita membuang waktu dengan berkeliling mencari jalan aman untuk dilewati."

Tunggu dulu, kapan dia melakukannya? Apa ketika aku tertidur di sofa? Tapi itu sudah hampir pagi, apa itu berarti dia tidak tidur semalaman? pikir Fiona resah. Bukan berarti dia tidak percaya dengan ketahanan fisik sang sersan, hanya saja perbedaan itu pasti ada antara mata yang sempat terpejam dan yang terbuka sepanjang malam.

"Tapi, bagaimana Sersan bisa melewati mereka semua? Aku tidak mendengar ada suara tembakan dari semalam." Minsana memandang ragu ke arah Gama.

"Walau mata mereka berfungsi baik di kegelapan, tetapi telinga mereka sama saja dengan kita. Yang penting jaga jarak, jangan sampai terlihat, dan tidak melakukan keributan," jelasnya singkat.

Run!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang