Bab 35

964 196 8
                                    

"Ana, Fiona. Mereka datang. Bersiaplah!" Prof Gorgo turun dengan tergesa-gesa. Binar matanya menunjukkan rasa optimistik akan keselamatan nyawanya yang sempat diragukan.

"Benarkah?" Minsana berlari menuju jendela yang tertutup kayu dan mengintip melalui celahnya. Tidak banyak yang bisa dilihat, kecuali debu beterbangan dan segelintir kerikil meloncat di tanah.

"Bagaimana?" tanya Fiona antusias.

"Belum ada. Tapi sepertinya memang ada yang mendekat ke sini."

"Mereka baru sampai di ujung gang. Melihat gerombolan zombi mengerumuninya, mereka jelas butuh waktu lebih untuk sampai sini. Yang penting bersiaplah," terang Prof Gorgo sambil memanggul tas punggungnya.

Tidak lagi berusaha mengkonfirmasi ucapan sang profesor, mereka berdua kini bersiap.

Selesai menyiapkan barang bawaan mereka, Fiona menyempatkan diri untuk memeriksa pistol. Memastikan kembali, untuk kesekian kalinya, jumlah peluru yang tersisa di dalam magasin dan pengaman pistol mudah untuk dilepaskan.

"Fiona, seberapa tepat tembakanmu?" tanya Prof Gorgo yang sempat tertegun memandang kilau moncong pistol. Seketika raut wajahnya berubah suram.

"Entahlah, aku jarang menggunakannya. Tapi yang pasti tidak sejitu mereka bertiga," ucapnya merendah.

"Boleh aku meminta sesuatu?"

"Apa itu, Prof?" Fiona memasukkan pistol ke sela celana dan menatap penuh tanya.

"Jika, sesuatu terjadi denganku." Dia menjeda kalimatnya. "jika, aku tergigit. Jangan ragu-ragu untuk menembakku sebelum aku berubah."

"Prof! Apa yang kamu katakan. Jangan main-main dengan permintaanmu!" sela Minsana kesal. "Prof akan baik-baik saja. Kita semua akan baik-baik saja."

"Aku tidak meminta kematian, Ana. Aku akan berusaha keras untuk tetap hidup. Aku hanya meminta belas kasihnya," tuturnya lembut dengan senyum yang dipaksakan hadir di wajah.

"Belas kasih?" Fiona menelengkan kepala. "apa maksudmu, Prof?"

"Jangan biarkan aku meninggal dalam keadaan nyeri hebat. Aku tidak mau otakku dikuasai oleh virus itu. Karenanya, sebelum aku berubah, kumohon tembak di sini." Prof Gorgo menunjuk dada kirinya. Tempat di mana organ penting pemompa darah ke seluruh tubuh bersemayam.

Mereka bertiga bungkam dan saling memandang. Seketika suasana berubah depresif. Beberapa kali Minsana terlihat ingin berkomentar, tetapi giginya menahan bibir untuk bergerak.

Membangun suasana seperti itu menggugah perasaan bersalah Prof Gorgo. Karena kini dia seolah tengah menghadirkan pemakamannya lebih cepat melalui narasi kalimat.

"Lupakan apa yang baru saja aku katakan. Maaf sudah membuat kalian—"

"Profesor, maaf. Tapi aku tidak bisa menjanjikan hal itu. Yang bisa kujanjikan, mereka tidak akan menyentuhmu, Prof." Fiona meremas kedua tangan Prof Gorgo yang mengatup rapat.

Melihat kepercayaan diri Fiona yang besar dan genggaman yang menguatkan, Prof Gorgo tersenyum simpul. "Terima kasih."

Tak lama setelah itu, raungan mesin kendaraan terdengar mendekat. Detik itu juga, suasana sentimental buyar dan digantikan dengan antusiasme mereka bertiga.

"Mereka datang!" Fiona melepas tangan Prof Gorgo dan berlari menuju jendela.

Melalui celah yang sama, sebuah bus berwarna kuning cerah melaju sambil menabrakkan badan kendaraan secara zig-zag di sepanjang gang.

Jeritan baja menyisir dinding mencakar gendang telinga. Dan teriakan kasar para mayat hidup yang terendam terdengar seperti permintaan tolong yang memilukan.

Run!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang